Jumat, 03 Mei 2013

Second Love part 6

*******
Alvin masih tetap ditempatnya. Masih terus menatap Shilla walau sosok gadis itu sudah tak terjangkau oleh indra penglihatannya. Mata sipitnya semakin sipit dan sayu. Desahan napas yang tertahan ia hembuskan begitu saja. Berharap dengan hembusan itu Shilla akan kembali untuk mendengarkannya dan setelah itu memaafkannya. Namun, apa mau dikata, semua hanyalah bayangan semu yang diciptakan laki-laki itu.

Mata onyxnya terus mengurai air mata. Banyak tatapan aneh dan bingung melihat Shilla melangkah dengan berurai air mata. Gadis itu tak tahu mau melangkahkan kakinya kemana. Ke kantin untuk menyusul Sivia? Heii,,, yang ada ia akan menjadi pusat perhatian dengan wajah kacau penuh air mata itu.

Shilla terus melangkah cepat. Kaki jenjangnya terus melangkah tanpa ia tahu kalau ia melangkah semakin menjauh ke arah belakang sekolah. Tempat yang aman untuk menangis dan berteriak. Etss,,,, kalau berteriak sepertinya tidak. Soalnya halaman belakang sekolah ini masih sering didatangi murid-murid yang sama seperti Shilla saat ini.

Satu langkah pasti, Shilla berbelok dan menghilang di ujung koridor sekolah. Koridor yang sepi membuatnya lantas berlari semakin kencang. Brukkk,,,,, tubuh mungil itu terjatuh saat harus bertabrakan dengan tubuh tegap yang entah kapan mengisi koridor yang tadi sepi. Tanpa penghuni. Shilla tak lantas bangkit dari jatuhnya. Tubuhnya masih terduduk dengan tangan yang masih mengatup melutunya.

" Maaf,,,!" suara berat itu terdengar penuh penyesalan namun terdengar ramah.

Uluran tangan sang penabrak menggantung diudara. Karena tak juga disambut oleh Shilla. Gadis itu menatap lantai keramik yang tertutupi banyak debu.

" heii,,,, maaf. Apakah kau tak berniat menyambut uluran tanganku ini? Huh?" suara berat itu lagi-lagi mengarah untuk Shilla.

Detik selanjutnya, tangan itu tak lagi menggantung diudara. Tangan kanan Shilla menyambutnya dan itu menolongnya untuk bangkit mensejajarkan tingginya dengan laki-laki yang tadi menabraknya. Walau tinggi Shilla masih berada jauh dari laki-laki itu. Hanya sampai bahu. Tak lebih.

" Kau tak apa??? Non,,,," laki-laki itu berkata, namun masih menggantungkan kalimatnya. Karena setelahnya kalaimat itu justru dipotong Shilla.
" Panggil aku Shilla."

Laki-laki itu tersenyum. Manis sekali. Mata emeraldnya terus memandang mata Shilla yang sembab dan penuh bekas air mata.

" ehh,,, kenalkan aku...."
" aku sudah tahu namamu. Kau gabriel kan?"

Laki-laki yang tak lain adalah Gabriel tak terlalu kaget karena Shilla mengetahui namanya. Karena toh hampir 85% penghuni sekolah ini mengenalnya sebagai ketua osis yang sebentar lagi akan mangkat dari jabatannya dan sekaligus ketua tim basket yang selalu mengharumkan nama sekolah mereka. Hampir disetiap kejuaraan dan pertandingan persahabatan.

" Kau menangis ya??? Apa karena tabrakan tadi, Shill?" Gabriel menyentuk pipi Shilla. Lembut dan halus. Pikir gabriel. Entah mengapa saat ia menyentuh gadis yang baru dikenalnya itu, ia langsung tersenyum lebar. Rasa hangat juga mengaliri desekujur tubuh tegapnya.
" jangan menyentuhku." Ucap Shilla dingin.

Gabriel menaikkan alisnya. Menyebabkan kedua lais tebalnya saling bertautan. Tangannya yang semula melekat dipipi Shilla dengan cepat ia turunkan dan bersembunyi disaku celananya. Selang beberapa saat, tangannya itu sudah menggenggam sebuha sapu tangan.

" Pakailah. Untuk menghapus air matamu." ucap Gabriel sambil menunjuk kearah sisa-sisa air yang ia maksud.
" Terima kasih." seru Shilla.

Gabriel hanya manggut-manggut. Lalu tersenyum manis menatap petakan-petakan lantai keramik yang ia pijak.

" Kau kelas ber,,,,," Gabriel menggantungkan kalimatnya. Gadis yang diajaknya bicara sudah tak ada lagi dihadapannya. Ia pun membalikkan tubuhnya dan emeraldnya menangkap gadis itu sudah melangkah lumayan jauh kearah belakang sekolah.

" Tunggu...!!!" Teriak Gabriel.

Ia mendudukkan tubuhnya. Bersebelahan dengan Shilla dibangku panjang yang menghadap hamparan rumput lapangan belakang sekolah mereka. Sebenernya halaman belakang sekolah mereka tidak terlalu buruk. Malah terlihat asri dan rapi. Dengan hamparan rumput yang hijau dan sebuah pohon mangga besar. Yang sekarang sedang mereka singgahi untuk duduk.

" Kenapa?"

Hah? Onyx Shilla membulat. Pertanyaan Gabriel belum bisa dicerna oleh otaknya. Bingung, iya. Shilla bingung dengan pertanyaan itu.

" Maksudku,,,, kau kenapa ke sini?"
" Bukan urusanmu, kan? Aku ingin menyendiri. Pergilah. Aku tak ingin ditemani orang asing seperti mu."

Gabriel terkikik. Penuturan Shilla terdengar geli baginya.
" Aku orang asing ya? Hahahaha,,, benar. Tapi sekarang kau tak perlu menganggapku orang asing lagi. Ok????"
" Hah???"
" anggap saja kita sudah menjadi teman." Gabriel mengedipkan sebelah matanya sambil merangkulkan tangannya ke bahu gadis disebelahnya itu.
" lepas."

Cengiran khas Gabriel menyertai tangannya yang terulur turun dari bahu Shilla. Sebagai seorang ketua Osis, ia memang sudah terbiasa ramah kepada semua orang. Termasuk Shilla, gadis yang baru berkenalan dengannya beberapa menit yang lalu.

Canggung. Suasana hening menyeruak diantara keduanya. Baik Shilla dan Gabriel tak punya bahan yang enak untuk dibicarakan. Lidah Gabriel mulai keluh ia tak terbiasa mendiamkan orang yang bersamanya.

Blung,,,,, nada khas BB dari handphone Shilla berbunyi. Tanda ada BBM yang masuk kesana. Dengan ogah, Shilla mengambilnya dari saku dan membaca siapa pengirim pesan. Ahh,,,, ternyata Sivia. Gadis itu mencarinya. Mungkin karena ia tak melihat Shilla dimana-mana.

Gabriel mengernyit. Sekilas ia melihat nama Sivia dihandphone Shilla. Sivia,,,, nama yang tak asing baginya. Dan memang sungguh-sungguh tak asing.

" Kau mengenal Sivia, huh?"
" ya. Dia teman sekelasku dan juga sahabatku. Tak perlu kau katakan apa-apa. Aku sudah tahu kalau kau mengenalnya."

Lagi-lagi alis tebal Gabriel saling bertautan. Lipatan keheranan menghiasi dahinya yang mulai ditumbuhi oleh beberapa jerawat.

Gabriel tersenyum setelahnya. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Otak sadarnya memerintahkannya untuk memaklumi hal itu. Mungkin Sivia banyak menceritakan tentang masa SMP mereka dulu. Eh tunggu,,,, masa SMP? Berarti gadis disebelahnya ini tahu apa yang pernah terjadi padanya, Sivia dan ify? Sahabat gadis itu?

" Berarti...."

Tettt,,,, tett,,,,, suara bel membuat Gabriel harus meneguk kekecewaan. Pertanyaannya harus ia simpan dulu. Mungkin lain kali ia bisa menanyakannya pada Shilla.

" Udah bel. Aku harus kembali kekelas. Nice to meet you, Shilla." Gabriel beranjak dari duduknya dengan mengedipkan sebelah matanya. Lalu tersenyum penuh arti kepada gadis itu.
" Nice to meet you, too." ucap Shilla terdengar acuh.

Selepas Gabriel meninggalkannya sendiri, Sivia membalas lagi BBMnya tadi. Gadis itu akan menyusulnya ke sini. Belakang sekolah.

Sivia, ia benar-benar mengkhawatirkan Shilla. Oleha karena itu, ia pun menyusul Shilla yang mengatakan kalau ia ada dibelakang sekolah. Sivia melangkah dengan tergesa-gesa. Jam pelajaran dikelasnya sedang kosong. Makanya ia berani keluar kelas dan menyusul sahabatnya itu. Namun, Sivia meneguk paksa air liurnya saat matanya yang agak sipit melihat sosok yang sudah terlalu lama dikaguminya berjalan dari arah belakang sekolah. Kemungkinan terburuk pun bermunculan di benaknya.

" Kak Gabriel?" seru Sivia.

Langkahnya sengaja dibuatnya menjadi lebih pendek dari yang tadi. Ia melihat gadis itu dihadapannya. Hanya terpaut jarak 2 meter saja. Gabriel lantas tersenyum dan melambai kearahnya.

" Hai, vi. Lama ya gak berhadapan kayak gini." ucap Gabriel basa-basi.

Rona merah terpeta diwajah putih Sivia. Rasa hangat terkumpul disana. Ia menunduk sejenak lalu kembali menatap laki-laki itu.

" Kau pasti mau menyusul sahabatmu kan? Tenangkan dia. Sepertinya dia sedang galau, ya?" Gabriel mengarahkan wajahnya mendekat kewajah sivia. Diakhir kata-katanya, Gabriel berbisik ketelinga sivia.

Lagi-lagi Gabriel berhasil membuat rona merah yang sama hanya dalam selang waktu beberapa detik diwajah Sivia. Namun, rona merah itu segera sirna, karena penuturan Gabriel.

Dari mana dia tahu kalau Shilla ada disana? Batin sivia.

" kok,,,,"
" temui lah dia. Kasian,,, pasti dia sedang memikirkan seorang laki-laki yang tampan dan manis seperti ku." seru Gabriel sembari mengacak pucuk rambut Sivia.

Tak ingin terbakar karena rona merah yang sudah tercipta 3 kali berturut-turut diwajahnya karena Gabriel, Sivia langsung pergi meninggalkan laki-laki itu. Dengan sebuah senyuman kebahagiaan.

Mimpi apa aku kemarin ya? Sampai Gabriel bertingkah seperti 3 tahu n lalu kepadaku. Sivia membatin.

Gabriel hanya tersenyum lebar menatap punggung sivia. Entah kenapa, ia bahagia bisa menciptakan rona merah itu lagi diwajah Sivia. Tapi,,, ahh belum saatnya.

*******
" Shill,,,," suara itu berseru lembut. Tangannya sang empunya suara sudah terlebih dulu bertengger tanpa meminta persetujuan. Tapi tak membuat orang yang disentuh bahunya tersentak kaget.
" Gabriel,,," lanjut Sivia lagi.
" iya. Dia kesini. Menemaniku."

Mata Sivia membulat. Menamani? Kata itu bagaikan palu besar yang menghantam hati sivia. Sakit dan nyeri.

" Shill,,,, kok...????" suara Sivia terdengar melemah dan bergetar. Kebahagiannya tadi sirna hanya karena satu kata dari Shilla.
" tenang Via. Aku gak akan mengambil pangeranmu itu. Dia hanya menemaniku sebagai seorang ketua osis yang baik dan calon sahabat ipar untukku."

Ucapan Shilla membuat Sivia tersenyum dan tertawa. Tepatnya membuat kedua gadis itu tertawa bersamaan. Membuat Shilla melupakan sejenak kesedihannya.

" Ahh,,,, Shilla." Sivia berseru sembari menyenggol lengan Shilla.

Shilla hanya tersenyum melihat tingkah sivia yang konyol. Mata onyxnya juga menangkap rona merah diwajah sahabatnya itu.

" Shill,,, tadi Alvin,,,,."

Mendengar nama laki-laki itu membuat Shilla teringat akan foto dan priscilla.

" please, vi. Jangan sebut nama dia dulu. Ok!!"

Sivia mengangguk ragu. Mungkin lebih baik untuk tidak mengungkit laki-laki itu didepan Shilla. Karena itu hanya akan membuat tawa yang sudah meluncur dari bibir Shilla berubah menjadi sebuah tangisan parau.

 

#next next,,, hihihi @widarihasnita

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates