Assalamualaikum. Hai hai. Part 2nya aku lanjut ya. Maaf buat yang kena tag di part 1 nya. Kalau gak suka boleh koment kok.
Di sepanjang perjalanan Shilla hanya menunduk. Pikirannya sibuk
melayang mencari berjuta kemungkinan yang akan terjadi padanya mulai
hari ini. Perasaannya kacau balau. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan
pria didepannya ini. Pria yang sedang memboncengnya diatas motor. Ahh,,,
kalau saja dia tidak membuat masalah kala itu. Pasti ia tak akan resah
seperti ini.
Shiitt,,,,,. Alvin merem motornya dengan secepat kilat. Membuat
tubuh gadis yang dengan anggun menduduki tempat dibelakang tubuhnya
terdorong kedepan dan tanpa sengaja memeluk pinggangnya. Akibat ulah
Alvin itu pula, helm yang dikenakan shilla terantuk ke helm Alvin.
Shilla sedikit pusing karena benturan itu. Namun selanjutnya ia sadar.
Sedang berada dimana kedua tangannya itu.
" ehh....." suara Shilla terhenyak.
Ia menarik tangannya dari pinggang Alvin. Sedangkan Alvin sendiri
memasang tampang datar saat ia merasakan pelukan hangat disekitar
pinggangnya. Walau sebelumnya ia sempat kaget kala itu. Namun, ada
sesuatu yang hilang yang dirasakan Alvin saat Shilla menarik tangannya
begitu saja.
" kau sengaja ya?" racau Shilla tak jelas.
Namun karena sang pengendara memakai helm yang menutupi telingannya,
bahkan seluruh kepalanya, membuatnya tak mendengar sama sekali racauan
itu. Dan Shilla, ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri.
Alvin membelokkan arah motornya. Ia memasuki sebuah komplek
perumahan yang terbilang elit. Shilla sempat terkejut. Untuk apa Alvin
membawanya memasuki komplek ini? Sebenarnya mau dibawa kemana dirinya?
Dalam diam, shilla mencoba melafalkan doa-doa yang barang kali bisa
menyelamatkan dirinya.
Alvin menghentikan motornya. Tepat didepan gerbang sebuah rumah
bernomor 09. Selang beberapa menit setelah Alvin membunyikan klakson,
pintu gerbang terbuka. Tampak laki-laki berseragam satpam paruh baya
dibalik pintu gerbang yang terbuka itu.
Shilla meneguk ludahnya. Rumahnya besar sekali, pikirnya. Alvin
mematikan mesin motornya dan melepaskan helm yang ia kenakan tadi. Namun
ia urung turun dari atas motornya itu karena gadis yang ada dibelakang
tubuhnya tak juga membuat tindakan untuk turun dari motornya itu.
" Mau sampai kapan nangkring disitu, Nona?" seru Alvin.
Ahh,,,, Shilla terhenyak. Lalu turun dari atas motor. Ia melepas helmnya dan memberikannya pada Alvin.
Alvin melangkahkan kakinya menaiki satu demi satu anak tangga di
pintu utama. Ia menghentikan langkahnya untuk menaiki anak tangga ke
tiga karena ia menyadari ada sesuatu yang tak juga bergerak dari
tempatnya.
" Masuk!" perintah Alvin.
Shilla pun membuntuti Alvin dari belakang. Matanya liar memandangi
setiap sudut yang ia lewati. Tempat yang menakjubkan. Desain rumah
keluarga sindunata itu benar-benar menarik perhatian Shilla.
Alvin membawa Shilla ke taman belakang. Disana, tampak bocah 9
tahunan sedang bermain ayunan dengan beberapa boneka yang ia peluk.
Gadis yang cantik.
" Itu!"
" Apa?"
" Itu permintaanku. Kamu harus menemani Dinda bermain. Buat dia nyaman denganmu."
" Hanya itu? Ahh itu hal yang mudah. Hanya bermain dengan adikmu? Kamu melucu ya?"
Alvin menatap Shilla dengan tatapan dalam. Ia tersenyum kaku. Senyum
itu seolah menyampaikan kalau Shilla belum tahu bagaimana adiknya itu.
Gadis yang malang, bersiaplah kamu.
Alvin meninggalkan Shilla. Setelah sebelumnya ia memperkenalkan
Shilla kepada adiknya, Dinda. Ia mengganti seragam sekolahnya, dengan
pakaian rumah yang tentunya terasa lebih nyaman.
" Hai,,,," sapa Shilla lembut. Ia berjongkok didepan Dinda. Namun, bocah 9 tahunan itu tak meresponnya.
" Hai..." sapa Shilla untuk yang kedua kalinya. Namun masih juga tak direspon.
Shilla geram sendiri dibuat bocah itu. Namun karena kesuakaannya mengahadapi anak-anak, membuatnya terlatih untuk sabar.
" Mau tidak bermain dengan kakak? Kita main hmm,,,, masak-masakan, mungkin?"
Dinda masih juga tak merespon Shilla. Bocah itu masih asyik menyisiri boneka Barbie yang ada ditangannya.
" Dinda, kok kakak di cuekin sih? Ngomong dong." pinta Shilla halus.
Dinda mulai merespon. Ia mengalihkan tatapannya ke Shilla. Shilla
sempat meneguk ludahnya. Dinda menatapnya begitu tajam. Tampaknya bocah
itu tak senang ia ada didekatnya.
" hai. Kakak Ashilla." seru Shilla sembari menyunggingkan senyum andalannya. Namun senyum itu tak mempan untuk Dinda.
" Mau apa kau?" seru Dinda dengan nada tinggi.
" ahh,,, kakak? Mau bermain denganmu. Boleh?"
" Gak. Aku gak mau. Sudah sana. Pergi saja. Aku tidak membutuhkanmu. Pergi!"
Shilla benar-benar tak menyangka. Ternyata bocah manis itu begitu
jutek padanya. Mengapa Alvin tak memberitahukan hal ini sebelumnya?
Jadilah Shilla harus menambah daftar pekerjaannya lagi. Disamping
mengajari anak-anak di sekitar rumahnya, ia pun harus membuat adiknya
Alvin agar nyaman dengannya. Permintaan yang tak begitu sulit memang,
namun membuat susah saja.
" sudah sana pergi." Dinda mendorong Shilla sampai ia tersungkur ke
tanah. Bocah itu bukan malah menolongnya, tapi malah meninggalkannya dan
masuk kedalam rumah. Bocah sableng.
Alvin yang memperhatikan dua wanita itu dari balik jendela kaget
dengan perbuatan adiknya. Ia bahkan tak terima saat Shilla harus
tersungkur ke tanah karena ulah adiknya itu.
Ia lalu melangkah menghampiri Shilla yang tak juga beranjak dari tempatnya terjatuh tadi. Gadis itu memang aneh.
" Maafkan, adikku."
Shilla menaikkan kepalanya. Ia mendapati Alvin disampingnya yang
mengulurkan tangan untuk membantunya. Shilla membiarkan uluran itu
beberapa saat sebelum ia menyambutnya.
" kenapa kamu tak bilang kalau adikmu itu sejutek dan sedingin itu?
Sama juga sepertimu. Kakak dan adik yang seperti manusia es."
" apa kamu bilang?"
" ya, kalian sama-sama seperti manusia es. Dingin dan kaku. Hemm,,,,
padahal kalian ganteng dan cantik, tapi harus punya sifat dingin
seperti itu."
Telinga Alvin tergelitik saat Shilla menyebut dirinya " ganteng ".
Entah mengapa kata-kata itu seperti melelehkan bongkahan es pada diri
Alvin secara perlahan. Mau tak mau, ia menyunggingkan senyum. Walau tak
terlihat begitu jelas.
" Tapi, aku suka dengan adikmu. Tampaknya kami akan cocok." seru Shilla lagi.
" cocok?"
" ya. Cocok sebagai adik dan kakak. Kami juga kan sama-sama cantik."
Shilla tersenyum imut saat menyebutkan kata cantik untuk dirinya dan
dinda.
" kau berharap dinda menjadi adikmu ya? Hh,,,, memangnya kamu pikir aku mau menjadi pacarmu?"
Shilla melongo mendengar penuturan Alvin. Malah selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak.
" Apa? Hello,,,, aku sih menyukai adikmu. Tapi bukan berarti aku menyukaimu ya."
Alvin terkesiap. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Shilla. Ia
sempat nyeri saat Shilla mengatakan " Hello,,,, aku memang menyukai
adikmu. Tapi bukan berarti aku menyukaimu."
#bersambung.
Keep comen ya. Mau suka dan tidak suka. Karena aku sangat berharap
sekali masukan dari kalian semua yang membaca ini. Wassalamualaikum.
0 komentar:
Posting Komentar