Rabu, 15 Mei 2013

second love - part 7


**********
Langit biru terlihat cerah hari ini. Tanpa tertutupi awan kelabu yang membuat sinar sang surya terhambat menyinari bumi. Menghangatkan, tapi lebih tepatnya sinar teriknya mampu membuat melanin pada kulit menyebar dan menyebabkan warna kecoklatan disana. Dikulit kita.

Ahh,,,, shilla mendesah pasrah. Diliriknya lagi jam tangannya yang dengan apik menghiasi pergelangan tangannya yang mungil. Tepat pukul 14.00. Sebenarnya ia sedang menantikan suara nyaring dari kantor guru, sebagai tanpa usainya kegiatan disekolah hari ini. Tapi, suara penyelamat itu nampaknya akan menyeruak sekitar setengah jam lagi. Masih terlalu lama.

Dikelas yang berbeda, seorang Alvin hanya terdiam dan menatap kosong kedepan papan tulis. Mata sipitnya sayu. Pikirannya berkecamuk. Berpusat pada satu gadis yang tadi meninggalkannya begitu saja dikoridor sekolah. Pelajaran yang dengan setia diterangkan oleh guru jam pelajaran terakhir, Ma'am Uci, hanya diabaikannya. Ia seolah menatap dan memperhatikan wanita paruh baya itu didepan kelasnya. Walau sebenarnya hanya raganya yang terdiam dikursi, tapi tak dengan pikirannya yang mencoba menyelusupi pikiran seorang gadis. Ashilla zahrantiara.

" Ini menyesakkan...!!!" suara Alvin menyeruak walau tak begitu terdengar oleh teman-temannya. Suara itu hanya mampu dijangkau Ozy, teman sebangkunya.

" Are you okay, Alvin??" suara Ozy setengah berbisik. Takut-takut Ma'am Uci mendengarnya dan menyuruhnya maju kedepan kelas.

Alvin bergeming. Matanya yang sipit tak berkedip sedari 5 detik yang lalu mungkin. Ahh entahlah. Tak ada yang mau menghitungnya.

" what's up, Man??" seru Ozy lagi. Tak mendapat respon apapun, akhirnya Ozy hanya menatap wajah putih Alvin dari samping. Wajah laki-laki yang biasanya tampak segar dan -enak dipandang- sekarang berubah seperti kerupuk tersiram air. Melempem dan lembek. Tak enak dipandang. Hancur dan berantakan.

Ozy juga mendesah. Helaan napas panjangnya menyeruak di seisi ruang kelasnya.

" Ozy,,,, any problem, Now??" suara Ma'am Uci tertuju padanya. Dengan segera Ozy membetulkan duduknya dan tersenyum menanggapi pertanyaan gurunya itu.

" No,,, Ma'am." ucap Ozy kikuk.

Alvin hanya melirik Ozy yang gelagapan dari ekor matanya. Lalu ia kembali menopangkan dagunya. Dan membiarkan pikirannya melayang lagi.

********
Shilla tersenyum kecut. Bel yang ditunggunya sedari tadi akhirnya mengeluarkan suara juga. Dengan ogah-ogahan, gadis dengan rambut kucir kuda itu memasukkan buku-bukunya kedalam tas.

" Shill??? Masih,,,,, sedih ya??" suara Sivia menyertai kegiatan Shilla.

Shilla hanya tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalannya. Yang justru membuat sivia menghela napas panjang.

Brukk,,,, tanpa sengaja sivia menjatuhkan buku kecil yang lebih mirip sebuah diary pribadinya. Shilla sebenarnya tak pernah mau ingin tahu rahasia seseorang. Namun, saat buku kecil itu terbuka tepat pada sebuah foto yang tertempel didalamnya, membuat Shilla melihatnya dengan mata memicing.

" Itu,,, kamu, gabriel dan,,,???" suara Shilla menggantung. Ia tak tahu siapa satu orang lagi yang dengan senyum menawan berada ditengah-tengah dua orang yang disebutkannya tadi.

Dengan secepat kilat, Sivia mengambil diarynya dan menyembunyikan benda itu didalam dekapannya.

Gadis itu masih melihat mata Shilla yang memicing karena foto yang tanpa sengaja terpampang dilantai tadi. Diatas Diary-nya.

" vi ????" tanya Shilla singkat.

Sivia merubah ekspresi wajahnya. Dengan helaan napas, ia menarik lengan Shilla dan membawa gadis itu ke pinggir lapangan sepak bola. Dijejeran kursi yang ada disana, Sivia menghentikan langkahnya dan menyuruh Shilla untuk duduk disebelahnya.

" kau mau minta penjelasan atas benda itu tadi, Shill???"

Shilla mengangguk. Onyxnya menatap lekat wajah Sivia yang mulai memetakan mimik kesedihan. Shilla hanya tahu kebenaran tentang foto itu sebatas Sivia, Gabriel dan satu anak perempuan lagi yang masih menjadi siswi SMP. Berarti itu sekitar 2 tahun lalu.

" Dia,,, perempuan itu sahabatku. Yang pernah kuceritakan. Aku, gabriel dan ify."

Saat menyebut nama 'Ify', suara Sivia seolah tercekat dan nada suara itu bergetar. Ada rahasia yang belum Shilla tahu dari seorang sivia tentang masa SMPnya dulu. Bersama 2 orang yang sivia sebutkan namanya tadi.

" Ify???" Shilla mengulangi kata-kata Sivia.

Sivia menganggukkan kepalanya. Tess,,, satu air mata mengalir dipipi Chubby Sivia. Mata gadis itu telah tergenang dengan air kesedihan. Sivia terdiam sejenak. Ia menghapus air mata yang tadi jatuh kepipinya. Lalu menatap Shilla yang masih saja menatapnya.

" Dulu,,,, aku dan ify adalah sahabat dekat. Dari kami TK. Samapi SMP." Sivia mulai menceritakan masa lalunya kepada Shilla.

Lalu, Sivia lagi-lagi mengambil jeda sebentar. Sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya lagi.

" Saat SMP, kami sama-sama memilih SMP Kasih 25. Untungnya lagi-lagi kami dipertemukan dan diletakkan dikelas yang sama. Pada saat MOS berlangsung, anggota OSIS anak kelas VIII yang menjadi pendamping kelas kami. Dan salah satunya adalah kak Gabriel."

Shilla menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

" Awalnya gak ada yang aneh. Ify dan aku masih bersikap wajar. Karena kami masih anak angkatan baru dan gak tahu apa-apa tentang sekolah kami itu. Tapi seiring berjalannya waktu dan ify yang perlahan mulai terkenal karena kepiawaiannya dalam bermain piano membuat hampir siswa Kasih 25 mengenalnya. Termasuk kak Gabriel. Saat itu, aku sering mendapati kak Gabriel mendatangi kelas dan berbaur diantara aku dan Ify. Kak gabriel baik sekali. Dan itu membuat ku juga ify mengaguminya lebih dari seorang kakak kelas. Diam-diam aku seringa mencuri pandang padanya. Tapi aku tak pernah berani terang-terangan menunjukkan kekagumanku padanya. Berbeda dengan ify yang dengan gamblang memberikan kode kalau ia menyukai kak Gabriel. Ditambah lagi kakaknya dan Gabriel adalah teman dekat. Maka ify semakin mendapatkan peluang besar untuk mendapatkannya."

Air mata sivia mengalir dengan bebas seiring ia mengenang masa indahnya bersama seorang sahabat yang telah melekat dam dirinya selama 11 tahun lamanya.

" selang beberapa bulan, aku sering melihat ify dan kak gabriel jalan bareng. Berduaan dikantin sambil tertawa lepas. Dan itu membuatku terabaikan, Shill. Ify gak pernah lagi main sama aku. Waktu acara pelantikan anggota OSIS baru, kak gabriel memilihku sebagai wakil nya. Dan itu membuat ify marah besar sama aku. Ify nuduh aku ngerebut kak Gabriel dari dia."

Sivia semakin sesugukan saat menceritakan kisah lamanya. Shilla menarik kepala Sivia kebahunya. Dan membiarkan sahabatnya itu menangis dalam kesedihan mengenang teman lama.

" Aku gak pernah tahu kalau gabriel dan ify udah pacaran Shill. Dan saat aku tahu, aku pengen bunuh diri. Terlebih sakit lagi, ify nampar aku didepan banyak orang saat pelantikan. Ify bahkan mengakhiri persahabatan kami, Shill. Persahabatan yang udah kami rajut selama 11 tahun."

Shilla yang mendengar penuturan sivia juga ikut mengalirkan air matanya. Ia tak pernah tahu kalau kisah yang dialami sivia tak jauh berbeda darinya. Kisah cinta yang begitu kelas dimasa perkenalannya.

" vi,,, aku tahu...."
" dan yang buat aku gak bisa maafin diri aku sendiri, ify bunuh diri saat kak Gabriel mutusin dia Shill. Ify bunuh diri dan ninggalin surat yang buat aku seperti orang paling bersalah atas kematiannya."

Shilla mengelus punggung via lembut. Lalu mendekap gadis itu kedalam dekapannya. Kedua gadis itu sekarang menangis terisak bersama.

" Aku,,,, aku gak berguna kan Shill??? Bahkan aku itu penyebab kematian ify."
" vi,,, dengerin aku. Kamu gak salah. Itu cuma kesalahan semua. Kesalahan gabriel dan ify. Kamu gak salah kalau kamu suka sama gabriel. Dan seharusnya ify gak milih jalan pendek yang kayak gitu."

Sivia mengeratkan pelukannya. Bersama Shilla, ia ingin membangun persahabatan baru. Dan berharap kejadian kala itu tak akan terulang lagi padanya.

" tapi,,, aku ngerasa bersalah." keluh Sivia.
" Jangan ngerasa bersalah, vi. Itu justru membuatmu selalu terbayang dan gak akan bisa dapetin cinta yang sesungguhnya harus kamu dapetin."

Sivia merenggangkan pelukannya. Lalu menghapus jejak air mata dipipinya. Ia tersenyum manis kearah Shilla.

" Terima kasih ya Shill."

Shilla mengangguk. Dan tersenyum manis. Ahh,,,, cinta itu merumitkan. Tapi kenapa orang mengatakan kalau cinta itu indah?????
                                                                *****
Shilla menghela napas panjang setelah sebelumnya menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang king size miliknya. Mata onyxnya melirik sebentar ke arah ponsel yang baru ia keluarkan dari saku bajunya, yang kemudian malah ia lempar dengan asal ke ujung kasurnya. Dengan merebahkan tubuhnya, Shilla mengendurkan dasi abu-abu yang setia melingkari kerah bajunya sedari tadi pagi.

" huh,,,," Shilla mendengus. Hari ini membuatnya lelah dan sakit hati. Sakit hati???? Ya,,,, sakit hati karena satu laki-laki. Kalian tahu siapa ???

Alih-alih menghela napas, Shilla membangkitkan tubuhnya dan melangkah ke arah kamar mandi yang memang berada didalam kamarnya. Beruntung gadis ini disediakan kamar mandi dalam kamarnya. Anak yang beruntung.

Selang beberapa saat, rambut panjang Shilla basah dan terbungkus handuk kecil. Tanda kalau ia baru saja membersihkan tubuhnya. Ia terlalu gerah dengan masalah yang menimpanya hari ini.

Kerlipan pada layar ponselnya membuat Shilla menjulurkan kepala dan melihat layar benda itu. Satu nama tertera disana. Sivia. Anak itu mengiriminya pesan. Tanpa membuka pesan itu terlebih dahulu, Shilla malah melangkah untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Pakaian bebas yang membuatnya nyaman.

Pantulan diri seorang gadis nampak jelas di depan cermin datar yang mengarah ke arah ranjang. Ya,,, itu pantulan diri Shilla. Dengan berbalut tanktop berwarna biru dan celana jeans selutut membuatnya tetep cantik dan bebas. Dengan lihai, tangan mungilnya menyisir rambut hitamnya yang pekat.

Namun lagi-lagi, kerlipan dilayar ponselnya membuatnya menghentikan kegiatannya. Untuk kedua kalinya, gadis itu menjulurkan kepalanya untuk melihat siapa yang membuat kerlipan disana. Satu panggilan masuk. Ahh,,, tapi melihat nama itu, membuat Shilla mengerucutkan bibirnya dan mencibir tanpa henti.

Shilla membiarkan orang diseberang telepon sana terus menempelkan ponselnya dan menunggu jawaban dari Shilla. Tapi sampai nada sambung itu berakhir, Shilla masih juga tak mau menerima panggilan itu.

Satu panggilan, dua panggilan bahkan sampai panggilan yang kelima membuat Shilla urung mengangkat telepon itu. Sampai Shilla merasa perlu menjawab telepon itu pada panggilan ke sepuluh.

Dengan ogah-ogahan Shilla menatap layar ponselnya lalu meletakkannya di telinga kanannya.

" Hallo,,,,,"

Raut wajah Shilla berubah selang beberapa detik ia mendengar suara si penelepon. Ya,,, dia Alvin. Laki-laki itu menelponnya. Menyebalkan bukan?

Eksperi wajah Shilla berubah lagi. Ia tersenyum sebentar lalu membelalakkan matanya. Mata onyx itu membesar saat satu nama keluar dari mulut Alvin.

" Dinda???" shilla membentuk kata tanpa suara.

Shilla tersenyum lagi. Anak itu, ia ingin sekali menemuinya. Dan mencubit pipi tembamnya. Menyisir rambut panjangnya, dan satu hal lagi yang ingin Shilla ulangi bersama Dinda -juga Alvin- menari konyol dengan iringan lagu Justin Bieber.

" Tapi,,," Suara Shilla tertahan. Ia ingin menolak permintaan Alvin supaya ia datang kerumahnya. Karena Dinda, kangen dan ingin bertemu dengannya.

Akhirnya setelah menimbang dengan matang, Shilla mengiyakan permintaan itu. Karena toh Dinda tak tahu apa-apa mengenail masalahnya dengan Alvin. Jadi, bocah itu masih berhak untuk menerima senyum dan sapaan dari Shilla. Benar bukan???

Shilla mengambil kardigan di gantungan bajunya. Untuk menutupi tubuh mungilnya yang hanya berbalut tanktop. Shilla bukan perempuan yang tak tahu aturan, keluar rumah hanya menggunakan kaos seperti itu.

" Mau kemana sayang???" suara ramah dan lembut itu membuat Shilla menghentikan langkahnya. Lalu melangkah balik untuk menemui sang empunya suara.
" aku mau keluar bentar ya, Ma. Aku mau main. Boleh ya???"

Mama Shilla yang sedang merapikan pohon bonsai kesayangannya tersenyum lembut disertai anggukan. Mama Shilla banyak tahu tentang apa yang terjadi pada anaknya. Dan saat ini yang bisa ia lihat dari pancaran mata Shilla, anaknya itu sedang mengalami gundah. Seperti saat itu, ia menangis di balik gerbang rumah.

" ya sudah, hati-hati ya."

shilla tersenyum. Lalu mencium pipi mamanya bergantian.

*********

Mobil Avanza hitam yang dikendarai Shilla memasuki sebuah perumahan yang elegan. Dengan bangunan-bangunan megah. Yang rata-rata berlantai 2. Senyuman hangat Shilla hadiahkan untuk seorang satpam yang menjaga perumahan itu.

Setelah tersenyum pada sang satpam, Shilla kembali melajukan mobilnya. Dan kali ini, mobilnya benar-benar berhenti di depan rumah klasik modern milik keluarga Sindhunata. Shilla sempat ragu-ragu untuk turun dari mobilnya. Desah napasnya menderu seiring debaran jantungnya yang kian cepat. Entah kenapa saat keadaan marah pada laki-laki itu pun, Shilla masih dibuat gelisah olehnya.

Shilla mengedarkan pandangannya mencari sosok anak kecil yang menjadi tujuan awalnya kemari. Dinda, dimana anak itu? Pikir Shilla. Shilla melangkahkan kaki jenjangnya mendekat ke arah pintu utama rumah Sindhunata. Tapi, langkah Shilla terhenti saat suara khas itu memanggilnya.

" kak Shilla,,,???"

Shilla yang tahu betul itu suara siapa segera membalikkan tubuhnya. Dinda sudah berapa dibelakangnya, radius 5 meter darinya yang sedang menggendong boneka doraemon.

" heiii,,,," sapa Shilla ramah.

Tanpa komando apapun, Dinda segera menghamburkan dirinya kepelukan Shilla. Dinda terlanju merindukan gadis yang baru kemarin dibawa abangnya kesini, rumahnya.

" kakak cantik sekali."

Rona merah menghiasi wajah putih Shilla yang tanpa berbalut make up sama sekali. Karena gemas dengan bocah dihadapannya, dengan cepat Shilla mendaratkan cubitan kecil dihidung Dinda.

" dasar anak kecil. Kau juga cantik."
" tapi lebih cantik kakak. Kalau aku sudah besar seperti kakak, pasti aku akan cantik dan banyak yang suka. Seperti kakak."

Shilla terkikik. Ocehan Dinda membuat rasa sesak didadanya seperti sirna dalam sesaat. Tawa dan canda yang tercipta diantara dua gadis itu ternyata tak lepas dari pantauan mata sipit milik Alvin. Yang dengan setia memberdirikan dirinya di depan jendela besar di bagian depang rumahnya. Samar-samar, senyum kecut menghiasi bibir tipisnya.

" kalau saja aku yang membuatmu tertawa seperti itu, Shill." gumam Alvin.

Pandangan mata itu membuat perasaan Shilla gelisah. Entah mengapa, ia dapat merasakan kalau ada seseorang yang memandangnya dari jauh.

" kakak,,,, ayo. Aku mau bermain bersamamu." ajak Dinda menggelayuti lengan Shilla manja.

Lagi-lagi, Shilla hanya bisa tersenyum sambil mengacak pucuk rambut Dinda. Bocah itu juga mengikutinya, menebar senyum yang membuat pipinya semakin tembam saja.

Shilla yang masih berdiri ditempatnya, dengan sekali tarikan dari Dinda membuatnya bergeser dan berpindah kedalam rumah keluarga itu. Keluarga Shindunata. Alvin yang mengetahui dua wanita itu akan memasuki rumah buru-buru melangkah pergi. Agar Shilla tak mengetahui kalau ia sedang memantau dirinya.

" kita mau main dimana, sayang?" tanya Shilla yang dengan setia berjalan disamping Dinda.
" kita akan bermain di ruang sana. Ruang biasa aku dan koko bermain."

Sirrr,,,, desiran darah mengalir cepat kesekujur tubuhnya. Ada rasa gelisah yang menggelayuti diri Shilla. Ia tidak ingin bertemu Alvin dulu untuk saat ini. Ia tidak ingin menambah lubang yang ada dihatinya semakin menganga lebar.

Benar saja, kecemasan Shilla berbuahkan hasil. Mata onyx dan sipit itu bertemu pada satu garis lurus. Menyinarkan bias-bias yang tak dapat dikatakan dengan kata-kata dan dilukiskan dengan tulisan. Dan lagi-lagi, desihan itu mengalir ke sekujur tubuh Shilla.

Shilla dan Dinda mulai melakukan kegiatannya. Mereka sibuk dengan benda-benda yang ada ditangannya. Shilla yang memegang boneka Nobita dan Sizuka, membuatnya seperti kembali pada masa kecilnya dulu. Ahh masa kecilnya begitu indah. Tak pernah ia merasakan cinta dan sakit hati.

Karena keasyikannya bermain, Dinda sampai tertidur ditempat itu. Dengan dua boneka doraemon besar yang ada dipelukannya. Shilla yang tak tega melihat bocah menggemaskan itu tertidur, mulai bingung. Ia bukanlah pemilik rumah ini yang bisa masuk sembarangan ke kamar Dinda untuk meletakkan tubuh kecil itu ke atas ranjang.

Tapi tanpa meminta pertolongan Alvin, laki-laki itu dengan sigap mengerti apa yang harus ia lakukan. Karena sedari tadi ia juga ada ditempat itu.

" maukah kau membawakan boneka itu untuk Dinda??? Bukan untukku." seru Alvin meminta Shilla agar membawakan boneka Dinda yang akan menemani tidur nyenyak adiknya itu.

Shilla mengangguk samar. Ia mengikuti Alvin dari belakang. Tubuh tegap itu membungkuk saat merada didepan ranjang Dinda.

" terima kasih." seru Alvin.

Tanpa menjawab, Shilla segera membalikkan tubuhnya. Tugasnya sudah selsai bukan? Jadi dia tak punya hak untuk berlama-lama dirumah yang hanya sedang dihuni Alvin dan Dinda. Nyonya dan tuan sindhunata sendiri sedang ke luar negeri untuk urusan pekerjaan.

" tunggu,,,!!!!" tangan kekar Alvin berhasil melingkar dipergelangan tangan Shilla. Yang sukses membuat Shilla menghentikan langkahnya.
" ikut aku..." pinta Alvin.

Karena tahu kalau dengan cara halus Shilla tak akan mau menurutinya, akhirnya dengan sangat terpaksa Alvin menarik tangan Shilla. Dan membawa gadis itu ke taman belakang rumah.

" duduklah."

Shilla tak menuruti perkataan Alvin. Ia masih saja berdiri. Dan masih terus bergeming. Mulutnya masih terkatup rapat.

"hhhh....." Alvin menghela napas panjang.
" Aku tahu, kau pasti marah kan??? Tapi,,,, mengapa kau marah coba??"

Jlebb,,,, pertanyaan yang lebih tepat sebuah hantaman bagi Shilla membuatnya membelalakkan matanya. Mengapa ia sampai semarah ini pada Alvin? Mengapa ia menjauhi laki-laki itu? Bukannya mereka belum punya hubungan special??? Mereka hanya teman yang dipertemukan karena kesalahan.

Alih-alih selanjutnya, desahan panjang terdengar dari Shilla. Pertanyaan itu menyesakkan dadanya, lagi.

Shilla menghentakkan kakinya. Ia kesal atas perkataan Alvin tadi. Tapi, lagi-lagi tangan itu ditahan oleh tangan kekar Alvin yang tadinya duduk dibangku panjang yang ada ditaman belakang.

" lepaskan tang,,,,,"

cup,,,, satu kecupan hangat mendarat manis di bibir mungil Shilla. Bibir merona itu saling bertautan. Lama. Desiran-desiran darah mengaliri dengan cepat ditubuh dua manusia itu. Desahan napas keduanya beradu. Dengan gerakan cepat, tangan Alvin melingkar dipinggng Shilla lalu mendorong pinggang itu agar mendekatkan tubuhnya dan tubuh Shilla.

Shilla yang kaget hanya bisa menerima ciuman itu dengan pasrah. Saraf sadarnya belum bisa bekerja sempurna. Saat ini yang sedang bekerja hanyalah perasaannya saja. Perasaannya yang membiarkan ciuman itu berlangsung tanpa jeda.

Shilla mendorong tubuh Alvin saat ia mulai sadar dari apa yang ia lakukan.

" lepaskan....." rona merah yang sudah terlalu merah itu menghiasi wajah Shilla. Wajah dan bibirnya merona karena malu.

Alvin hanya menggaruk tengkuknya. Ia tahu ia salah. Tapi,,,, ia ingin membuktikan sesuatu pada gadis dihadapannya ini.

" maafkan aku....." ucap Alvin gugup. Ia takut kalau-kalau Shilla marah dan menamparnya.

Tapi nyantanya, Shilla malah terdiam. Dengan kepala menunduk dan tangan yang mengatup bibirnya.

" aku mencintaimu, Shill."

Glegar,,,,.... Pernyataan itu dengan seketika membuat Shilla mendongakkan kepalanya cepat. Tatapan matanya yang tajam seolah meminta Alvin untuk mengulangi kalimatnya itu.

" Aku mencintaimu. Aku ingin kau menjadi gadisku."

Lagi-lagi rona merah menghiasi wajah Shilla. Walau ia berusaha menutupinya, tapi tetap saja rona itu tetap tercipta.

" kau,,,, jangan bercanda Alvin." ucap Shilla malu.
Ciuman itu meluluhkan hatinya. Membuyarkan sakit hatinya.
" aku serius shilla. I'm seriously. Aku ingin kau menjadi gadisku. Menjadi gadis cantikku." seru Alvin berbisik diakhir kalimatnya.

Telinga Shilla geli saat Alvin berbisik mesra kepadanya. Dan dalam sekejap, rona merah itu tercipta lagi.
" kau mau menerimaku menjadi pacarmu?? Huh???"

Walau tak bersuara, tapi kepala Shilla memberi isyarat berupa anggukan. Dua kali berturut-turut. Dan sontak saja Alvin memeluk erat tubuh Shilla. Dan Shilla pun membalas pelukan itu. Sama eratnya.

" tapi,,, bukannya kamu dan prisilla masih...."

Alvin menghentikan kalimat Shilla dengan jarinya yang ia letakkan diatas bibir gadis itu.
" aku akan memberitahumu soal perempuan itu."

Shilla yang malu atas perlakuan pacar barunya itu, meninju lembut lengan Alvin. Yang membuat Alvin pura-pura kesakita dan mengeluh.

" Aduh...."
" kamu kenapa???? Alvin.... Alvin...."

Dan cup,,,, alvin mendaratkan satu kecupan lagi dikening Shilla. Ahhh,,, Shilla mendesah. Ia mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya didepan dada.

" aku malu...."
"kenapa???"
"kalau Dinda melihat ini bagaimana???"
" dia gak akan tahu. Dia sedang tertidur. Hanya aku, kamu dan tuhan yang tahu, Sayang."


********

sekilas,,,, aku harap banyak yang mau baca cerbung amatiran ini. cuma buat hiburan doang kok. dan semoga ada yang mau coment. hahahahahahah harapan aku ini mah. @widarihasnita

Jumat, 03 Mei 2013

Second Love part 6

*******
Alvin masih tetap ditempatnya. Masih terus menatap Shilla walau sosok gadis itu sudah tak terjangkau oleh indra penglihatannya. Mata sipitnya semakin sipit dan sayu. Desahan napas yang tertahan ia hembuskan begitu saja. Berharap dengan hembusan itu Shilla akan kembali untuk mendengarkannya dan setelah itu memaafkannya. Namun, apa mau dikata, semua hanyalah bayangan semu yang diciptakan laki-laki itu.

Mata onyxnya terus mengurai air mata. Banyak tatapan aneh dan bingung melihat Shilla melangkah dengan berurai air mata. Gadis itu tak tahu mau melangkahkan kakinya kemana. Ke kantin untuk menyusul Sivia? Heii,,, yang ada ia akan menjadi pusat perhatian dengan wajah kacau penuh air mata itu.

Shilla terus melangkah cepat. Kaki jenjangnya terus melangkah tanpa ia tahu kalau ia melangkah semakin menjauh ke arah belakang sekolah. Tempat yang aman untuk menangis dan berteriak. Etss,,,, kalau berteriak sepertinya tidak. Soalnya halaman belakang sekolah ini masih sering didatangi murid-murid yang sama seperti Shilla saat ini.

Satu langkah pasti, Shilla berbelok dan menghilang di ujung koridor sekolah. Koridor yang sepi membuatnya lantas berlari semakin kencang. Brukkk,,,,, tubuh mungil itu terjatuh saat harus bertabrakan dengan tubuh tegap yang entah kapan mengisi koridor yang tadi sepi. Tanpa penghuni. Shilla tak lantas bangkit dari jatuhnya. Tubuhnya masih terduduk dengan tangan yang masih mengatup melutunya.

" Maaf,,,!" suara berat itu terdengar penuh penyesalan namun terdengar ramah.

Uluran tangan sang penabrak menggantung diudara. Karena tak juga disambut oleh Shilla. Gadis itu menatap lantai keramik yang tertutupi banyak debu.

" heii,,,, maaf. Apakah kau tak berniat menyambut uluran tanganku ini? Huh?" suara berat itu lagi-lagi mengarah untuk Shilla.

Detik selanjutnya, tangan itu tak lagi menggantung diudara. Tangan kanan Shilla menyambutnya dan itu menolongnya untuk bangkit mensejajarkan tingginya dengan laki-laki yang tadi menabraknya. Walau tinggi Shilla masih berada jauh dari laki-laki itu. Hanya sampai bahu. Tak lebih.

" Kau tak apa??? Non,,,," laki-laki itu berkata, namun masih menggantungkan kalimatnya. Karena setelahnya kalaimat itu justru dipotong Shilla.
" Panggil aku Shilla."

Laki-laki itu tersenyum. Manis sekali. Mata emeraldnya terus memandang mata Shilla yang sembab dan penuh bekas air mata.

" ehh,,, kenalkan aku...."
" aku sudah tahu namamu. Kau gabriel kan?"

Laki-laki yang tak lain adalah Gabriel tak terlalu kaget karena Shilla mengetahui namanya. Karena toh hampir 85% penghuni sekolah ini mengenalnya sebagai ketua osis yang sebentar lagi akan mangkat dari jabatannya dan sekaligus ketua tim basket yang selalu mengharumkan nama sekolah mereka. Hampir disetiap kejuaraan dan pertandingan persahabatan.

" Kau menangis ya??? Apa karena tabrakan tadi, Shill?" Gabriel menyentuk pipi Shilla. Lembut dan halus. Pikir gabriel. Entah mengapa saat ia menyentuh gadis yang baru dikenalnya itu, ia langsung tersenyum lebar. Rasa hangat juga mengaliri desekujur tubuh tegapnya.
" jangan menyentuhku." Ucap Shilla dingin.

Gabriel menaikkan alisnya. Menyebabkan kedua lais tebalnya saling bertautan. Tangannya yang semula melekat dipipi Shilla dengan cepat ia turunkan dan bersembunyi disaku celananya. Selang beberapa saat, tangannya itu sudah menggenggam sebuha sapu tangan.

" Pakailah. Untuk menghapus air matamu." ucap Gabriel sambil menunjuk kearah sisa-sisa air yang ia maksud.
" Terima kasih." seru Shilla.

Gabriel hanya manggut-manggut. Lalu tersenyum manis menatap petakan-petakan lantai keramik yang ia pijak.

" Kau kelas ber,,,,," Gabriel menggantungkan kalimatnya. Gadis yang diajaknya bicara sudah tak ada lagi dihadapannya. Ia pun membalikkan tubuhnya dan emeraldnya menangkap gadis itu sudah melangkah lumayan jauh kearah belakang sekolah.

" Tunggu...!!!" Teriak Gabriel.

Ia mendudukkan tubuhnya. Bersebelahan dengan Shilla dibangku panjang yang menghadap hamparan rumput lapangan belakang sekolah mereka. Sebenernya halaman belakang sekolah mereka tidak terlalu buruk. Malah terlihat asri dan rapi. Dengan hamparan rumput yang hijau dan sebuah pohon mangga besar. Yang sekarang sedang mereka singgahi untuk duduk.

" Kenapa?"

Hah? Onyx Shilla membulat. Pertanyaan Gabriel belum bisa dicerna oleh otaknya. Bingung, iya. Shilla bingung dengan pertanyaan itu.

" Maksudku,,,, kau kenapa ke sini?"
" Bukan urusanmu, kan? Aku ingin menyendiri. Pergilah. Aku tak ingin ditemani orang asing seperti mu."

Gabriel terkikik. Penuturan Shilla terdengar geli baginya.
" Aku orang asing ya? Hahahaha,,, benar. Tapi sekarang kau tak perlu menganggapku orang asing lagi. Ok????"
" Hah???"
" anggap saja kita sudah menjadi teman." Gabriel mengedipkan sebelah matanya sambil merangkulkan tangannya ke bahu gadis disebelahnya itu.
" lepas."

Cengiran khas Gabriel menyertai tangannya yang terulur turun dari bahu Shilla. Sebagai seorang ketua Osis, ia memang sudah terbiasa ramah kepada semua orang. Termasuk Shilla, gadis yang baru berkenalan dengannya beberapa menit yang lalu.

Canggung. Suasana hening menyeruak diantara keduanya. Baik Shilla dan Gabriel tak punya bahan yang enak untuk dibicarakan. Lidah Gabriel mulai keluh ia tak terbiasa mendiamkan orang yang bersamanya.

Blung,,,,, nada khas BB dari handphone Shilla berbunyi. Tanda ada BBM yang masuk kesana. Dengan ogah, Shilla mengambilnya dari saku dan membaca siapa pengirim pesan. Ahh,,,, ternyata Sivia. Gadis itu mencarinya. Mungkin karena ia tak melihat Shilla dimana-mana.

Gabriel mengernyit. Sekilas ia melihat nama Sivia dihandphone Shilla. Sivia,,,, nama yang tak asing baginya. Dan memang sungguh-sungguh tak asing.

" Kau mengenal Sivia, huh?"
" ya. Dia teman sekelasku dan juga sahabatku. Tak perlu kau katakan apa-apa. Aku sudah tahu kalau kau mengenalnya."

Lagi-lagi alis tebal Gabriel saling bertautan. Lipatan keheranan menghiasi dahinya yang mulai ditumbuhi oleh beberapa jerawat.

Gabriel tersenyum setelahnya. Lalu ia menganggukkan kepalanya. Otak sadarnya memerintahkannya untuk memaklumi hal itu. Mungkin Sivia banyak menceritakan tentang masa SMP mereka dulu. Eh tunggu,,,, masa SMP? Berarti gadis disebelahnya ini tahu apa yang pernah terjadi padanya, Sivia dan ify? Sahabat gadis itu?

" Berarti...."

Tettt,,,, tett,,,,, suara bel membuat Gabriel harus meneguk kekecewaan. Pertanyaannya harus ia simpan dulu. Mungkin lain kali ia bisa menanyakannya pada Shilla.

" Udah bel. Aku harus kembali kekelas. Nice to meet you, Shilla." Gabriel beranjak dari duduknya dengan mengedipkan sebelah matanya. Lalu tersenyum penuh arti kepada gadis itu.
" Nice to meet you, too." ucap Shilla terdengar acuh.

Selepas Gabriel meninggalkannya sendiri, Sivia membalas lagi BBMnya tadi. Gadis itu akan menyusulnya ke sini. Belakang sekolah.

Sivia, ia benar-benar mengkhawatirkan Shilla. Oleha karena itu, ia pun menyusul Shilla yang mengatakan kalau ia ada dibelakang sekolah. Sivia melangkah dengan tergesa-gesa. Jam pelajaran dikelasnya sedang kosong. Makanya ia berani keluar kelas dan menyusul sahabatnya itu. Namun, Sivia meneguk paksa air liurnya saat matanya yang agak sipit melihat sosok yang sudah terlalu lama dikaguminya berjalan dari arah belakang sekolah. Kemungkinan terburuk pun bermunculan di benaknya.

" Kak Gabriel?" seru Sivia.

Langkahnya sengaja dibuatnya menjadi lebih pendek dari yang tadi. Ia melihat gadis itu dihadapannya. Hanya terpaut jarak 2 meter saja. Gabriel lantas tersenyum dan melambai kearahnya.

" Hai, vi. Lama ya gak berhadapan kayak gini." ucap Gabriel basa-basi.

Rona merah terpeta diwajah putih Sivia. Rasa hangat terkumpul disana. Ia menunduk sejenak lalu kembali menatap laki-laki itu.

" Kau pasti mau menyusul sahabatmu kan? Tenangkan dia. Sepertinya dia sedang galau, ya?" Gabriel mengarahkan wajahnya mendekat kewajah sivia. Diakhir kata-katanya, Gabriel berbisik ketelinga sivia.

Lagi-lagi Gabriel berhasil membuat rona merah yang sama hanya dalam selang waktu beberapa detik diwajah Sivia. Namun, rona merah itu segera sirna, karena penuturan Gabriel.

Dari mana dia tahu kalau Shilla ada disana? Batin sivia.

" kok,,,,"
" temui lah dia. Kasian,,, pasti dia sedang memikirkan seorang laki-laki yang tampan dan manis seperti ku." seru Gabriel sembari mengacak pucuk rambut Sivia.

Tak ingin terbakar karena rona merah yang sudah tercipta 3 kali berturut-turut diwajahnya karena Gabriel, Sivia langsung pergi meninggalkan laki-laki itu. Dengan sebuah senyuman kebahagiaan.

Mimpi apa aku kemarin ya? Sampai Gabriel bertingkah seperti 3 tahu n lalu kepadaku. Sivia membatin.

Gabriel hanya tersenyum lebar menatap punggung sivia. Entah kenapa, ia bahagia bisa menciptakan rona merah itu lagi diwajah Sivia. Tapi,,, ahh belum saatnya.

*******
" Shill,,,," suara itu berseru lembut. Tangannya sang empunya suara sudah terlebih dulu bertengger tanpa meminta persetujuan. Tapi tak membuat orang yang disentuh bahunya tersentak kaget.
" Gabriel,,," lanjut Sivia lagi.
" iya. Dia kesini. Menemaniku."

Mata Sivia membulat. Menamani? Kata itu bagaikan palu besar yang menghantam hati sivia. Sakit dan nyeri.

" Shill,,,, kok...????" suara Sivia terdengar melemah dan bergetar. Kebahagiannya tadi sirna hanya karena satu kata dari Shilla.
" tenang Via. Aku gak akan mengambil pangeranmu itu. Dia hanya menemaniku sebagai seorang ketua osis yang baik dan calon sahabat ipar untukku."

Ucapan Shilla membuat Sivia tersenyum dan tertawa. Tepatnya membuat kedua gadis itu tertawa bersamaan. Membuat Shilla melupakan sejenak kesedihannya.

" Ahh,,,, Shilla." Sivia berseru sembari menyenggol lengan Shilla.

Shilla hanya tersenyum melihat tingkah sivia yang konyol. Mata onyxnya juga menangkap rona merah diwajah sahabatnya itu.

" Shill,,, tadi Alvin,,,,."

Mendengar nama laki-laki itu membuat Shilla teringat akan foto dan priscilla.

" please, vi. Jangan sebut nama dia dulu. Ok!!"

Sivia mengangguk ragu. Mungkin lebih baik untuk tidak mengungkit laki-laki itu didepan Shilla. Karena itu hanya akan membuat tawa yang sudah meluncur dari bibir Shilla berubah menjadi sebuah tangisan parau.

 

#next next,,, hihihi @widarihasnita

Second Love part 5

Assalamualaikum. Aku kembali teman-teman *plak. Ok karena aku udah diprotes sama seseorang. Jiahh.... Karena kak Kiswah udah protes jadi aku post aja kali ya. Tapi maaf kalau ceritanya agak ngawur ngidul gitu. So,,,, hope you like itu. #muchlove :*

" Aku,,," ucap Shilla dan Alvin bersamaan.

Mereka sama-sama menggantungkan kalimat mereka. Selanjutnya mereka malah sama-sama salah tingkah. Alvin kembali fokus pada stir mobil, sedangkan Shilla membuang pandangannya ke arah luar mobil.

Shilla menghela napas panjang. Lalu, ia kembali mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan mobil. Sebenarnya Shilla agak jenuh kalau harus diam-diaman seperti ini. Kalau situasi ini terus berlanjut, debaran yang dirasakan Shilla bisa-bisa tertangkap oleh indra pendengar pria disebelahnya itu. Oh Tuhan, gadis itu gugup saat bersama pria yang nyaris layaknya manusia es seperti Alvin.

Sama halnya dengan Shilla, Alvin sendiri sudah gemetar bukan kepalang. Peluh sudah membanjiri lengannya tanpa shilla ketahui. Alvin berusaha menahan napas sejenak untuk mengontrol kegugupannya.

" ahh,,, ayolah Alvin. Jangan gugup. Dia hanya seorang Ashilla. Bukan Selena Gomez, wanita dambaan idola mu." seru Alvin menyemangati dirinya sendiri.

Shilla mencoba mencari sesuatu yang bisa membuat kegugupannya hilang sejenak. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut mobil Alvin. Namun, pandangan liar itu berhenti pada foto 5 inci yang ada di hadapannya. Shilla mengambil benda itu karena penasaran. Tanpa sebelumnya meminta izin kepada Alvin. Shilla langsung shook saat ia mendapati ternyata yang ia pegang adalah foto seorang wanita cantik yang seumuran dengannya. Wanita yang sepertinya keturunan Jerman-indonesia. Yang lebih membuat Shilla ingin membunuh Alvin sekarang juga adalah karena di foto itu Alvin dengan wajah teduhnya merangkul pinggang gadis itu. Detik demi detik berlanjut, Shilla merasakan matanya kian memanas.

Shilla kemudian membalik benda itu. Cisss,,,, Shilla langsung membelalakkan matanya dan menutup mulutnya rapat-rapat.

" I love My Honey Priscilla. :* <3"

Tangan Shilla langsung membuat ekspresi berbeda. Tangan itu kian gemetar seiring Shilla menahan tangisnya. Untuk saat ini, ia benar-benar ingin menenggelamkan dirinya sendiri.

" Shill, kamu kena,,,," Alvin menggantungkan kalimatnya saat ia mendapati foto gadis yang memang pernah menjadi bagian dari kisah cintanya ada digenggaman tangan Shilla. Dan Alvin merasakan rasa sakit yang berbeda saat ia melihat Shilla menahan tangisnya.

" Shill, ini gak seperti yang,,,,"
" ahh,,, kamu ngomong apa sih Vin."
" Shill,,, priscilla itu udah,,,"
" hei. Kamu gak perlu jelasin apa-apa ke aku. Toh aku bukan siapa-siapa kamu kan? Aku cuma orang yang gak sengaja numpang lewat dihidup kamu." Shilla berusaha tersenyum dalam tangisnya. Berusaha tetap menjadi Shilla yang ceria walau sebenarnya, kali ini ia sedang tenggelam dalam rasa yang entah kapan hadir dalam dirinya.

Shilla masih menutup mulut dengan tangan kanannya. Ia tidak berani menatap laki-laki oriental disebelahnya setelah ia mengetahui satu kenyataan yang membuatnya - mengenal kata patah hati-. Shilla memilih memunggungi Alvin dan mengedarkan pandangannya ke luar.

Alvin memang masih terlihat seperti apa adanya Alvin. Masih terkesan datar dan tidak ketakutan. Tapi jauh dilubuk hatinya, ia sibuk meminta maaf dan memohon agar Shilla tak menghindarinya. Agar Shilla masih akan bermain ke rumahnya. Masih akan menyetel lagu Justin - penyanyi idola mereka- dan sama-sama menggoyangkan tubuh mereka seperti anak bayi.

Sepanjang menuju rumah Shilla, mereka terus terdiam. Tak ada yang memulai untuk membuka pembicaraan. Sedang Shilla yang masih membuang wajahnya dari Alvin masih terus menangis. Shilla tak bisa menghentikan aliran air matanya. Ia sudah tidak bisa mengontrol apa yang di reaksikan oleh indra penglihatannya. Iya,,, mata gadis itu kini sudah hampir berkantung mata. Dan saat ia menyadari jalanan itu telah dekat dengan kediamannya, Shilla buru-buru menghapus air matanya dan mencoba untuk tersenyum.

" come on Shilla. You can do it. Ok,,,!" Seru Shilla kepada dirinya sendiri.

Alvin menepikan mobil di depan rumah gadis yang sekarang sedang menangis karena foto sialan yang entah kenapa masih ada di jok mobilnya. Alvin tak beranjak dari duduknya selama beberapa saat. Namun saat ia mendengar Shilla akan bangkit dan meninggalkannya, ia buru-buru meraih tangan gadis itu sehinggan gadis itu urung keluar dari mobilnya.

" Shill,,, jangan pernah jauhin aku." pinta Alvin sungguh-sungguh. Ini kali keduanya ia mengatakn kalimat permohonan kepada seorang gadis.

Shilla tersenyum. Tepatnya berusaha tersenyum manis untuk laki-laki itu.
" Aku gak akan membenci kamu. Tapi kalau ngejauhin kamu,,,, maaf ya Vin. Aku gak mau ngerusak kisah cinta kamu sama wanita cantik bernama Prisil itu." suara Shilla terdengan gemetar.
" Shill,,, tapi aku gak bisa jauh dari kamu. Terus bagaimana dengan Dinda, Shill?"

Ahh,,, rasa miris itu semakin bertambah saat Alvin menyebut nama bocah itu. Dinda, Shilla sudah terlanjut mencintai gadis kecil itu. Ia sendiri tak tahu, apakah ia akan sanggup meninjakkan kakinya kerumah Alvin.

" Shill,,,,"

Shilla tak lagi menghiraukan perkataan Alvin. Ia segara keluar dari mobil itu dan berjalan memasuki rumahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan kepada Alvin yang menatap nanar gadis itu dari dalam mobilnya.

Shilla terduduk lemah dibalik gerbang rumahnya. Disana, ia menekuk lututnya dan menangis sekencang-kencangnya. Ia tak lagi tahu apakan Alvin masih setia didepan rumahnya atau malah sudah pergi.

" Kenapa lagi-lagi aku harus ngerasain rasa ini? Kenapa?" ucap Shilla putus asa.

Suara itu terdengar begitu menyayat hati. Sampai-sampai membuat wanita paruh baya yang asyik memberi minum tanaman-tanaman kesayangannya menghentikan kegiatannya.

" Shilla,,??" wanita itu berseru lalu menghampiri sosok yang tak lagi asing baginya. Sosok gadis yang begitu dimanjakan dan disayanginya.

" Shilla, kamu kenapa Nak?"
" Mama,,,,,"

Shilla segera menghamburkan dirinya kepelukan wanita yang selalu setia mendengarkan keluh kesah hidupnya. Tentang cinta dan semuanya. Mama Shilla membiarkan anak tunggalnya itu menangis dalam dekapan hangatnya. Sambil terus membelai rambut gadis itu penuh sayang.

" kamu kenapa, Nak? Ya udah, cerita sama mama yuk. Kamu berhenti sebentar dulu ya, sayang."

Shilla mengendurkan pelukannya dari mamanya. Lalu menghapus air mata yang masih setia mengaliri pipinya. Ia mencoba tersenyum manis saat menatap mamanya.

Wanita yang ditatap tersenyum balik penuh cinta dan kasih sayang yang teduh dan lembut.

********
" Kamu, patah hati?" tanya mama Shilla saat mereka telah berada didalam kamar anak perempuannya itu.

Shilla menggeleng lemah. Ia tak tahu apakah ia bisa dikatakan patah hati atau tidak. Tapi yang pasti yang ia rasakan lebih perih dari yang ia rasakan sebelumnya.

" apa ada hubungannya sama Cakka?" tanya mama Shilla lagi.
" enggak ma. Shilla udah gak ada apa-apa sama laki-laki itu. Lagi pula ini kisah baru yang ingin aku ciptain, Ma. Tapi,,,, kisah itu harus usai sebelum berjalan."

Mama Shilla memicingkan matanya. Kening wanita paruh baya itu berkerut, menambah kerutan usia yang menghiasi wajahnya.

" Shilla sakit Ma." lagi dan lagi, Shilla sudah tak bisa membendung air matanya. Dan air mata itu dengan lihainya mengalir bebas menyusuri lekukan wajahnya.
" sayang, cinta itu memang seperti itu Nak. Kalau kamu mencintainya, pertahankan dia." saran mama Shilla.

Shilla merespon dengan gelengan kepala. Ia tak ingin mengiyakan usul mamanya.

" laki-laki itu telah memiliki orang lain, Ma. Jadi Aku gak berhak mempertahankannya."

Mama Shilla tahu apa yang betul badai yang dilanda putrinya. Lantas untuk menenangkannya, ia mendekap hangat tubuh gadis itu.

" terserah kamu, Anakku!"

 

 *******
Pagi ini, Shilla melangkahkan kaki jenjangnya disepanjang koridor sekolah tercintanya. SMA Citra Kasih. Tapi, langkah kaki itu seperti tak membawa sebuah harapan baru yang biasanya selalu menyertai gadis cantik berbehel ini. Yang biasanya selalu ada rona keceriaan, pagi ini tak nampak sedikitpun pada dirinya. Tatapan mata Shilla kosong menatap lurus kedepan koridor. Helaan napas panjang terdengar jelas darinya saat ia mendudukkan dirinya di singgasana kelasnya.

Sivia, gadis yang notabenenya teman sekelas Shilla melihat keanehan yang kentara dari gadis yang dikenalnya sebagai gadis periang. Gadis yang tak nampak murung selama ia sekelas dengannya. Namun, pagi ini gadis itu seperti kehilangan sebuah harapan indah dalam hidupnya.

Sivia masih memperhatikan Shilla yang sekarang menekuk kepalanya menyandar meja. Lalu, gadis berambut sebahu itu pun berinisiatif untuk mendekati Shilla.

" Shilla,,,," seru Sivia menyentuh bahu Shilla lembut.

Shilla menaikkan pandangannya. Ia mendapati gadis yang tempo hari diabaikannya hanya karena memikirkan tawaran konyol Alvin. Yang sekarang malah membuatnya terjerat dalam rasa aneh kepada laki-laki itu.

" Shill,,, kamu kenapa?" tanya Sivia lembut. Dan masih meletakkan tangan kanannya dibahu Shilla.

Shilla tak menjawabnya dengan spontan. Ia memilih untuk diam sejenak, dan akhirnya bibir merahnya meluncurkan jawaban yang di nantikan gadis di sebelahnya ini.

" Aku,,,, gak apa-apa, Via. Emangnya aku terlihat aneh ya?" jawab Shilla diiringi senyum manis yang dipaksakannya.

Sivia menganggukkan kepalanya. Ia sendiri juga menghela napas panjang saat memberi anggukan itu.

" yah,,,,. Kau tak terlihat seperti dirimu adanya. Kau aneh, Shilla. Kau murung, dan tidak ceria seperti biasanya."

Shilla mengalihkan pandangannya menatap Sivia. Ahh,,,, perubahan itu begitu kentara dalam dirinya. Ia masih berusaha tersenyum menatap Sivia. Ia menyandarkan kepalanya kebahu Sivia. Hanya beberapa saat. Dan setelahnya, Shilla menenggerkan tangannya ke bahu gadis itu.

" Via,,,, aku gak kenapa-napa. Hanya saja sedikit kurang enak badan."

Sivia tahu kalau sebenarnya ada yang disembunyikan Shilla. Tapi, ia tak mau memaksa gadis itu untuk membagi cerita yang mungkin belum siap untuk dia bagi kepadanya.

" Shill,,,," panggil Sivia dengan suara parau.
" Iya,,!!"

Sivia dan Shilla sama-sama melempar pandangan mereka. Mereka sama-sama menatap papan tulis dengan tatapan kosong.

" Kalau membicarakan cinta itu, memang tidak pernah ada habisnya, ya."

Shilla tertegun. Mengapa Sivia tiba-tiba berkata seperti itu? Apa Sivia tahu masalah yang melandanya? Padahal diakan belum memberitahukannya?

"Maksudmu?"

Sivia menahan napas sejenak. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar kelas mereka.

" Kamu kenal kak Gabriel kan? Kakak kelas kita?"

Shilla mengangguk pasti. Ia memang kenal laki-laki itu. Laki-laki manis dengan tubuh tegap. Yang merupakan ketua osis dan anggota inti Tim Basket sekolah mereka. Shilla yang entah mengapa, malah ikut-ikutan menatap ke luar kelas. Tepat ke depan kelas di seberang kelas mereka. Dan itu adalah kelas Gabriel.

" memangnya kenapa dengan laki-laki itu, Vi?" tanya Shilla.
" hhh,,,, kau tahu Shill? Aku sudah menyukainya hampir 4 tahun. Dari SMP, saat kami satu sekolah dulu. Tapi aku membiarkannya menjadi milik sahabatku, Ify."

Shilla membesarkan bola matanya. Walau ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

" bodoh kan Shill? 4 tahun. Dan sampai sekarang aku gak pernah bisa bilang ke dia kalau aku mencintainya."

Suara Sivia lamat-lamat terdengar bergetar. Dan tess,,,, tetesan air kesedihan itu akhirnya tak hanya meluncur dari mata indah Sivia, melainkan juga dari mata Shilla. Sivia masih terus membiarkan aliran dikedua pipinya, sambil terus menatap sosok yang dikaguminya. Yang sedang berdiri di ambang pintu kelasnya bersama seorang gadis.

Sedangkan Shilla, ia tenggelam dalam bayangan foto Alvin bersama gadis yang ia tahu bernama Priscilla. Bayangan itu membuat dadanya sesak. Andai saja waktu itu, Shilla tak pernah membuat masalah dengan Alvin, pasti ia tak akan merasakan rasa aneh yang ia tahu itu dinamakan Cinta.

********
Tak hanya Shilla dan Sivia yang merasakan sakitnya cinta. Alvin pun juga merasakan kegundahan yang berarti. Ia tak tahu mengapa foto sialan itu masih menghiasi mobilnya. Alvin mengacak rambutnya sendiri. Ia kacau, karena ia telah membuat gadis yang sukses membuatnya lepas dari keterpurukan kehilangan gadis yang dicintainya dulu menangis. Menangis karena kebodohannya.

"arrrgghhh,,,,"

Alvin menggeram. Ia kacau. Sangat kacau. " Shilla, maafkan aku." batin Alvin.

Bel panjang yang memenuhi seantero sekolah, membebaskan seluruh manusia yang bosan karena harus dihadapkan dengan beberapa pelajaran yang sebenarnya tak mereka suka. Namun, tak membebaskan Shilla dari kegundahannya. Karena Alvin dan foto itu.

" Hhhh,,,, Shill. Ke kantin yuk." ajak Sivia.

Shilla menganggukkan kepalanya. Mungkin menyibukkan dirinya diantara kerumunan orang bisa membuatnya sedikit melupakan kejadiaan saat itu.

" Shill,,,,"

Satu sapaan dingin tertangkap oleh indra pendengar Shilla. Ia tahu suara siapa itu tanpa ia harus membalikkan tubuhnya. Tapi, bukannya berhenti Shilla malah menarik Sivia agar mempercepat langkahnya.

" Shilla, tunggu!" Alvin mencoba menggapai tangan Shilla. Dan ia pun sukses mendapatkannya.
" aku mau ngomong sesuatu."

Shilla pun membalikkan tubuhnya dan mencoba bersikap wajar layaknya ia apa adanya.

" Mau ngomong apa?"
" aku mau ngomong sesuatu, tapi gak disini. Please!"

Shilla terdiam untuk beberapa saat. Ia tidak memandang wajah Alvin. Ia tidak berani memandang wajah laki-laki itu. Ia takut pertahanannya akan runtuh dan laki-laki itu akan menyudutkannya dan menanyakan yang tidak-tidak kepadanya.

" Maaf ya Vin. Tapi aku harus menemai Sivia."

Sivia yang tidak ingin mengganggu Shilla dan Alvin akhirnya membuka suaranya juga.

" Hmmm,,, Shill aku bisa ke kantin sendiri kok. Lebih baik kamu ikut sama Alvin aja dulu."

Belum Shilla memberi penolakan atas perkataan Sivia, gadis itu sudah melapaskan tangan Shilla dari lengannya. Dan langsung berjalan meninggalkan dua manusia itu.

" Shill,,,,."

Shilla menghela napas. Ia masih tak berani menatap Alvin.

" Soal,,,," seru Alvin namun ucapan itu segera dipotong Shilla.
" Oh ya Vin. Soal ganti rugi atas kesalahanku tempo hari, aku akan tetap melakukannya. Aku akan tetap bermain bersama Dinda. Tapi itu tanpa kamu." ucap Shilla dingin.
" kamu gak perlu ganti rugi Shill. Aku udah maafin semuanya." ucap Alvin menarik satu tangan Shilla kedalam genggamannya.

Genggaman tangan itu langsung menjalarkan rasa hangat kesekujur tubuh Shilla. Namun Shilla segera melepas genggaman itu.

" Makasih Vin. Jadi sekarang aku udah gak ada urusan sama kamu. Maaf sebelumnya. Aku harus pergi menemui Sivia."

Shilla langsung melangkahkan kakinya cepat meninggalkan Alvin. Alvin sendiri menapat punggung Shilla yang semakin lama menghilang dari pandangannya.

" Ashilla,,,,,," seru Alvin parau.

# nah,,,, aku post nih. Ceritanya makin ngawur ya? Udah greget belum? Seperti biasa ya, tag menyusul. Comen ya guys.

Take is it.
@widarihasnita

Second Love part 4

Bismillahhirrahmanirrahim.
Karena kemaren ngepostnya kependekan + udah protes tentang part 4nya. Aku post hari ini. Tapi maaf sebelumnya, tag nya menyusul ya :D. Niatnya tadi pagi mau ngepost, eee tapi kagak bisa. Jadi,,,,, langsung aja ya. *ngerlinginmata #pletak :D

********
Dinda meletakkan jari telunjuknya tepat didagunya. Dan setelahnya, bocah itu tersenyum dan berjalan mendekati tumpukan CD yang merupakan koleksinya. Hadiah dari Alvin.

" ini...... Kita karaokean aja. Bagaimana kak?"

Shilla mengambil CD yang dipegang Dinda. Betapa sumringahnya Shilla karena CD yang dipegangnya merupakan album terbaru Justin Bieber.

" yay,,,, JB. Boleh banget dek."

Shilla mengangkat tubuhnya. Lalu berjalan kearah DVD player untuk memasang lagu pria favoritnya itu. Sambil menunggu, Shilla sempat menanyakan beberapa hal kepada Dinda.

" koleksi justin biebermu banyak banget, dek. Wahh adek Blieber juga ya?"
" hahaha,,,, iya kak. Itu juga hadiah dari koko Alvin. Dia juga kan pengemar berat JB."

Dentuman yang terdengar dari depan mereka membuat Shilla dengan cepat menegakkan tubuhnya. Lagu it's you menjadi lagu pertama yang mereka nyanyikan.

Seperti terkena sihir dari lagu itu, Dinda dan Shilla tanpa pikir panjang bernyanyi sambil menggoyangkan badan mereka. Dengan riangnya, Shilla menggoyangkan pantatnya seiring irama sambil memutar-mutarkan badan mungilnya.

" it's u,,,, it's u,,,,,"

Alvin meneguk ludahnya paksa. Shilla terlihat sangat konyol saat melenggokkan pantatnya. Karena suara lagu yang terlalu keras, membuat suara tawa Alvin tak terdengar Shilla.

Tapi, mata Dinda menangkap bayangan abangnya itu dibalik pintu sambil memegang perutnya. Sembari tertawa lebar. Saat Shilla masih asyik menggoyangkan pantatnya, Dinda berjalan menghampiri Alvin dan mengajak laki-laki itu untuk ikut bergabung bersama mereka.

" ehhh,,,," Alvin tersentak saat Dinda memintanya bergabung bersama Shilla.
" ahhh,,,, ayolah koko."

Tanpa persetujuan, Dinda menarik koko-nya dengan paksa. Sampai laki-laki itu berada tepat disamping Shilla.

" Ayo Alvin. Goyangkan pantatmu." seru Shilla entah sadar atau tidak.

Alvin sendiri masih berdiri kaku sambil menggaruk tengkuk kepalanya. Ia memperhatikan dua wanita yang sekarang seperti asyik dalam dunianya sendiri. Ia menatap dinda dengan alis yang terangkat saat adik perempuannya itu membuat gerakan menutup matanya dengan 2 jari. Namun ia terlebih kaget saat matanya menangkap tubuh Shilla masih asyik bergoyang pinggung sana-sini (?).

" Ayolah Alvin. Menari. Lihat aku." seru Shilla menarik lengan Alvin agar mengikuti gerakannya.

Sama halnya seperti Dinda dan Shilla, Alvin seperti tersihir oleh ajakan Shilla dan akhirnya laki-laki dingin itu mengikuti goyangan Shilla juga.

Shilla masih sibuk bergoyang sana-sini mengikuti irama. Sampai saat dirinya memalingkan wajah dan mendapati Alvin tengah melakukan hal yang sama, ia terdiam sejenak lalu tertawa.

" buahahahaha,,,,, kamu, konyol banget."

Alvin tak mendengar tawa yang sebenarnya menertawakan dirinya. Ia masih sibuk berkomat-kamit sambil menggoyangkan tubuhnya. Pada saat yang sama, saat Alvin dan Shilla melakukan kegiatan mereka lagi mata mereka malah saling bertemu saat mereka sama-sama akan memutar tubuh mereka.

Selanjutnya, mereka saling menatap dan memberikan ekspresi salah tingkah. Dengan Alvin hanya menggaruk tengkuk kepalanya dan Shilla menundukkan wajahnya sambil menyelpikan rambutnya yang liar turun ke depan wajahnya.

" Alvin!" teriakan dari seseorang yang sangat khas ditelinga Alvin membuatnya juga Dinda mematikan DVD player itu. Membiarkan dunia mereka hilang untuk saat ini.

" kalian. Ckckckck,,,, sudah berapa kali mama bilang. Jangan pernah bertingkah konyol seperti itu didalam kamar."

Shilla hanya meneguk ludah sambil menggenggam tangan Alvin - yang entah dia sadari atau tidak- saat mamanya Alvin tiba-tiba pulang dan marah-marah.
" anu ma,,, anu..." seru Alvin terbata.

Wanita paruh baya itu menggeleng perlahan melihat tingkah 2 buah hatinya yang menurutnya sangat konyol itu. Gelengan kepala itu berhenti saat ia menatap genggaman tangan Shilla dan Alvin.

" eehhh,,,, tangan kalian."

Shilla dan Alvin saling menatap. Lalu mereka sama-sama melepas tangan mereka dengan paksa. Dan itu membuat bocah kecil diantara mereka harus menahan tawa.

" muka koko sama kak shilla merah." seru Dinda tanpa suara.
" kau siapa?" tanya nyonya sindunata penuh selidik.
" aku,,,, Ashilla, tante."
" pacar Alvin?"

Hah? Alvin dan Shilla sama-sama membelalakkan matanya. Lalu saling pandang dan kemudian sama-sama menatap wajah wanita paruh baya itu.

Tak ada suara bantahan yang keluar dari mulut Alvin dan Shilla. Mereka hanya menggeleng dengan mulut yang setengah terbuka. Kalau menuruti panggilan hati mereka masing-masing, tak ada yang menolak saat mereka dikatakan 'berpacaran'.

" jadi?" seru Nyonya Sindunata lagi.
" Mama memangnya setuju kalau koko sama kakak ini?" pancing Dinda sambil menunjuka kearah Shilla.

Nyonya Sindunata itu terdiam sejenak. Matanya mengamati Shilla dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Ia menaikkan sebelah alisnya sebelum akhirnya ia berkata.

" kamu? Ashilla zahrantiara? Anaknya wiwid?"

Shilla menganggukan kepalanya masih dengan mulut setengah terbuka. Dalam hati ia berseru bagaimana mamanya Alvin tahu kalau ia anak dari wanita bernama wiwid? Ahh,,,, lagi-lagi Shilla dihadapkan dalam kebingungan.

" ah,, ya ampun. Kau cantik sekali sayang. Tante setuju sekali dengan hubungan kalian."

Shilla semakin melebarkan mata dan mulutnya. Yang juga diikuti oleh Alvin.

" ahh,,, tante. Aku dan Alvin itu,,,,,"
" ya sudah. Kalau begitu ayo makan dulu. Kamu belum makan siang kan?"

Alvin dan Shilla saling merutuki satu sama lain. Mereka kan tidak pacaran? Kenapa malah salah sangka sih? Ya ampun. Shilla menepuk jidadnya sendiri.

" Alvin, ini bagaimana?"

Alvin hanya mengangkat dua bahunya. Ia masih saja memperlihatkan tampang datar dan tidak bersalah dihadapan Shilla. Karena kesal dengan Alvin, Shilla pun menghentakan kakinya dan sukses mengenai kaki laki-laki itu.

" shiit,,,, sakit."

Shilla dan Alvin sama-sama melangkahkan kakinya menuju meja makan. Yang tentunya disana telah berada mama dan juga adik Alvin. Baru saja shilla dan Alvin akan menyedok makanan ke mulut mereka, satu pertanyaan sukses membuat Shilla dan Alvin membiarkan sendok mereka diudara.

" apa ma?"
" iya, sudah berapa lama kalian pacaran?"

Dugg,,,,. Shilla lagi-lagi menginjak kaki Alvin. Ia meminta kepada laki-laki itu agar ia mengatakan kepada mamanya kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa.

" ahh,,, tante. Aku dan Alvin itu,,,," Shilla sedikit ragu untuk meneruskan kata-katanya.

Alvin menghela napas pasrah dan akhirnya pengakuan itu pun meluncur dari bibirnya.

" Alvin dan Shilla tidak ada hubungan apa-apa mama."

Sekarang gantian mama Alvin yang melebarkan matanya. Wanita itu terlihat sangat kaget dengan pengakuan anak sulungnya itu.

" kalian tidak pacaran?"

Shilla mengangguk pasti saat tatapan mata mama Alvin meminta penegasan darinya. Shilla sempat takut saat tatapan tajam itu mengarah kepadanya.

" ahh,,,, sayang sekali. Tante kira kalian pacaran."

Dari nada suaranya, wanita itu kedengaran sangat kecewa sekali.

" ahh,,, padahal ma, kak Shilla dan koko itu sama-sama penggemar justin lo." celetuk Dinda membuat Alvin langsung melebarkan matanya.

Usai makan dengan disuguhi berbagai pertanyaan aneh dari mama Alvin, wanita itu menyuruh Alvin untuk mengantarkan Shilla pulang. Mau tak mau demi ibunya, Alvin mengiyakan saja permintaan itu.

" hati-hati ya." seru mama Alvin saat Shilla dan Alvin telah benar-benar masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan, mereka hanya diam. Tak ada yang berinisiatif untuk membuka pembicaraan. Malah ditambah jalanan yang macet serta hujan yang mendera jalanan tempat mereka saling terdiam.

" akuu,,,,," ucap Alvin dan Shilla bersamaan.

#hai,,,, masih terlalu pendek? Ceritanya makin ngawur kan? Makin ancur? Makin gak greget? Ahhh coment ya. Huhuhu

take is it
@widarihasnita

Second Love part 3

Assalamualaikum readers :D *nyengirduluahhh.... Plak.
Karena lagi mengalir ide, akhirnya saya putuskan untuk membuat part 3nya. Maaf karena tagnya menyusul. Ok langsung aja ya. Take is it. :D

Alvin melangkahkan kakinya. Nampaknya, berlama-lama disamping Shilla membuatnya nyeri sendiri. Entah sejak kapan laki-laki berwajah oriental dan bersifat dingin itu merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya pada gadis periang seperti Shilla. Alvin menyelipkan tangan kanannya ke saku celana jeansnya.

Ia menghentikan langkahnya sesaat. Lalu menolehkan wajahnya 45 derajat kearah belakang. Bermaksud melirik Shilla.

" rok sekolahmu kotor. Nampaknya terkena mainan Dinda. Sebaiknya kau bersihkan dulu rokmu itu." seru Alvin yang langsung saja membuat Shilla menoleh ke arah belakang roknya.

Wajah Shilla tersipu malu saat ia mendapati noda hitam dibelakang rok sekolahnya itu.

" ahhh,,,, terima kasih. Alvin." shilla berbicara tanpa suara. Ia menatap punggung Alvin yang lamat-lamat menghilang dari pandangannya.

Shilla masih tetap berdiri ditempatnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu terlihat kebingungan.

" heii,,, kenapa aku ditinggal disini? Kalau aku masuk tanpa di suruh, bisa dibilang tidak sopan dong." cerocos shilla pada dirinya sendiri.

Entah seperti mendengar perkataannya yang dibuatnya sangat halus, satu SMS dari Alvin mampir ke Handphone mungilnya.

" masuklah. Kau mau sampai kapan disitu? Mau menjadi patung penghias taman?"

Shilla tersenyum lebar. Ahh,,, Alvin. Anak itu bisa melawak juga rupanya.

Shilla masuk lewat pintu belakang. Saat akan berbelok ke arah kamar mandi, ia berpapasan dengan Mbak Rahmi. Pembantu yang telah merawat 2 anak tuan Sindunata sedari bayi.

" ehhh,,, Mbak." seru Shilla membungkukkan tubuhnya.

Rahmi yang disapa Shilla hanya tersenyum. Lalu pamit untuk mengurusi dapur lagi. Usai membersihkan roknya, shilla melangkah ke arah ruang tamu keluarga Sindunata. Di dinding ruang tamu itu, foto keluarga besar Alvin terpeta dengan apik. Tampak ayah, ibu, dia dan juga adiknya disana. Ahh,,, Dinda begitu lucu saat berfoto begitu. Tak menampakan gurat kejutekan yang didapati Shilla saat bersama anak itu tadi. Shilla kembali mengamati secara detail foto keluarga itu. Alvin begitu mirip dengan Ayahnya. Dan entah mengapa Shilla terus menatap tanpa berkedip sosok Alvin yang begitu menawan. Dengan berbalut jas hitam yang cocok ditubuhnya. Sadar atau tidak, gadis itu tersenyum sumringah saat menatap foto Alvin.

" Aku tampan kan? Sama seperti Ayahku."

Suara itu tiba-tiba saja terngiang ditelinga Shilla. Suara yang ia tahu itu suara Alvin.
" ya,,, begitulah. Kamu bahkan tidak terlihat jutek disana."

Shilla bermaksud menatap Alvin saat mengatakan kenyataan yang ia dapat tentang laki-laki itu dari foto yang dilihatnya. Namun karena jarak yang terlalu dekat, membuat Shilla dan Alvin saling tatap di antara desahan napas yang menderu. (?) :D

Karena Alvin yang lebih tinggi dari tubuhnya, membuat Shilla harus mendongak menatapnya. Sedangkan Alvin harus tertunduk sambil menempelkan satu tangannya ke didinding disebelahnya. Mereka terus beradu pandang. Dan lambat laun wajah dua insan itu juga terarah semakin mendekat. Hanya tinggal menghitung jari sampai hidung mereka beradu.

" Koko Alvin!" suara bocah yang terdengar membuat Alvin dan Shilla saling menjauh.

Dari balik pintu, Dinda berjalan sambil membawa beberapa buku dan tas.

" koko, lihat. Ceritakan kepadaku tentang isi dari buku ini." pinta Dinda memohon.

Shilla menilik sedikit ke sampul depan buku yang dipegang Dinda. Selanjutnya, gadis itu tersenyum manis.

" kalau boleh, bagaimana kakak saja yang menceritakannya padamu?" usul Shilla. Sebenarnya ini juga merupakan strateginya agar Dinda tak jutek lagi padanya.
" memangnya kau bisa?" seru Dinda mengacuhkan kemampuan Shilla.
" eheemm,,,," Shilla mengangguk pasti.

Dinda menatap Alvin. Mungkin meminta pendapat dari abangnya itu. Dan yang diberikan Alvin adalah sebuah anggukan pasti.

" ya sudah. Ini ambil." seru Dinda dengan suara melembut sambil menyerahkan buku kearah Shilla. Dan shilla menerima buku itu sambil mengacak pucuk kepala Dinda gemas.

Dua wanita itu melangkah memasuki kamar Dinda. Sembari melangkah Shilla berbicara tanpa suara kepada Alvin sambil mengacungkan dua jempol tangannya. " Aku pasti membuat adikumu nyaman padaku."

Alvin hanya menggaruk tengkuknya. Harus ia akui, karisma Shilla dalam menangani anak-anak memang begitu kuat. Dan tak sampai hitungan detik, lagi-lagi Alvin menyunggingkan senyumnya.

******
" dan akhirnya kelinci pun dikalahkan kura-kura karena kesombongannya." Shilla menyelesaikan cerita pada buku yang diberikan Dinda padanya. Lalu melirik kearah bocah itu. Melihat ekspresi apa yang diberikan gadis kecil itu.
" oooo,,,, ternyata kau pandai juga ya bercerita."

Shilla sempat terdiam. Huh,,, ia mendengus. Dinda masih saja memanggilnya dengan kata kau. Apa tidak bisa lebih sopan sedikiti? Memanggilnya kakak begitu?

" Dinda, hmmm.... Bagaimana kalau kita bernyanyi? Kakak tahu kamu pasti suka menyanyikan?" seru Shilla ngasal. Padahal ia tidak tahu kalau bocah itu suka bernyanyi.
" yah,,, kau.... Eh maksudku kakak benar. Aku memang suka bernyanyi."

Shilla tersenyum sumringah. Ahh,,, gadis lucu itu akhirnya memanggilnya dengan sebutan 'kakak' juga.

" Dinda mau bernyanyi apa?"
" hmmm......." Dinda sibuk berpikir memilih lagu apa yang akan dinyanyikannya bersama kakak perempuan yang dibawa abangnya pulang beberapa jam yang lalu.

Tanpa 2 wanita itu sadari, seorang laki-laki mengamati mereka. Sambil tersenyum dan terus memperhatikan salah seorang didalam ruangan bernuansa pinky girl milik Dinda.

" kau memang benar-benar gadis yang pandai, Ashilla."

#
nahloh. Ini udah panjang belum? Masih pendek? Udah greget belum? Ahhh komen ya gays.

Take is it. The place we made it :*
@widarihasnita
|
wassalamualaikum

Second Love part 2

Assalamualaikum. Hai hai. Part 2nya aku lanjut ya. Maaf buat yang kena tag di part 1 nya. Kalau gak suka boleh koment kok.

Di sepanjang perjalanan Shilla hanya menunduk. Pikirannya sibuk melayang mencari berjuta kemungkinan yang akan terjadi padanya mulai hari ini. Perasaannya kacau balau. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan pria didepannya ini. Pria yang sedang memboncengnya diatas motor. Ahh,,, kalau saja dia tidak membuat masalah kala itu. Pasti ia tak akan resah seperti ini.

Shiitt,,,,,. Alvin merem motornya dengan secepat kilat. Membuat tubuh gadis yang dengan anggun menduduki tempat dibelakang tubuhnya terdorong kedepan dan tanpa sengaja memeluk pinggangnya. Akibat ulah Alvin itu pula, helm yang dikenakan shilla terantuk ke helm Alvin. Shilla sedikit pusing karena benturan itu. Namun selanjutnya ia sadar. Sedang berada dimana kedua tangannya itu.

" ehh....." suara Shilla terhenyak.

Ia menarik tangannya dari pinggang Alvin. Sedangkan Alvin sendiri memasang tampang datar saat ia merasakan pelukan hangat disekitar pinggangnya. Walau sebelumnya ia sempat kaget kala itu. Namun, ada sesuatu yang hilang yang dirasakan Alvin saat Shilla menarik tangannya begitu saja.

" kau sengaja ya?" racau Shilla tak jelas.

Namun karena sang pengendara memakai helm yang menutupi telingannya, bahkan seluruh kepalanya, membuatnya tak mendengar sama sekali racauan itu. Dan Shilla, ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri.

Alvin membelokkan arah motornya. Ia memasuki sebuah komplek perumahan yang terbilang elit. Shilla sempat terkejut. Untuk apa Alvin membawanya memasuki komplek ini? Sebenarnya mau dibawa kemana dirinya? Dalam diam, shilla mencoba melafalkan doa-doa yang barang kali bisa menyelamatkan dirinya.

Alvin menghentikan motornya. Tepat didepan gerbang sebuah rumah bernomor 09. Selang beberapa menit setelah Alvin membunyikan klakson, pintu gerbang terbuka. Tampak laki-laki berseragam satpam paruh baya dibalik pintu gerbang yang terbuka itu.

Shilla meneguk ludahnya. Rumahnya besar sekali, pikirnya. Alvin mematikan mesin motornya dan melepaskan helm yang ia kenakan tadi. Namun ia urung turun dari atas motornya itu karena gadis yang ada dibelakang tubuhnya tak juga membuat tindakan untuk turun dari motornya itu.

" Mau sampai kapan nangkring disitu, Nona?" seru Alvin.

Ahh,,,, Shilla terhenyak. Lalu turun dari atas motor. Ia melepas helmnya dan memberikannya pada Alvin.

Alvin melangkahkan kakinya menaiki satu demi satu anak tangga di pintu utama. Ia menghentikan langkahnya untuk menaiki anak tangga ke tiga karena ia menyadari ada sesuatu yang tak juga bergerak dari tempatnya.

" Masuk!" perintah Alvin.

Shilla pun membuntuti Alvin dari belakang. Matanya liar memandangi setiap sudut yang ia lewati. Tempat yang menakjubkan. Desain rumah keluarga sindunata itu benar-benar menarik perhatian Shilla.

Alvin membawa Shilla ke taman belakang. Disana, tampak bocah 9 tahunan sedang bermain ayunan dengan beberapa boneka yang ia peluk. Gadis yang cantik.

" Itu!"
" Apa?"
" Itu permintaanku. Kamu harus menemani Dinda bermain. Buat dia nyaman denganmu."
" Hanya itu? Ahh itu hal yang mudah. Hanya bermain dengan adikmu? Kamu melucu ya?"

Alvin menatap Shilla dengan tatapan dalam. Ia tersenyum kaku. Senyum itu seolah menyampaikan kalau Shilla belum tahu bagaimana adiknya itu. Gadis yang malang, bersiaplah kamu.

Alvin meninggalkan Shilla. Setelah sebelumnya ia memperkenalkan Shilla kepada adiknya, Dinda. Ia mengganti seragam sekolahnya, dengan pakaian rumah yang tentunya terasa lebih nyaman.

" Hai,,,," sapa Shilla lembut. Ia berjongkok didepan Dinda. Namun, bocah 9 tahunan itu tak meresponnya.
" Hai..." sapa Shilla untuk yang kedua kalinya. Namun masih juga tak direspon.

Shilla geram sendiri dibuat bocah itu. Namun karena kesuakaannya mengahadapi anak-anak, membuatnya terlatih untuk sabar.
" Mau tidak bermain dengan kakak? Kita main hmm,,,, masak-masakan, mungkin?"

Dinda masih juga tak merespon Shilla. Bocah itu masih asyik menyisiri boneka Barbie yang ada ditangannya.

" Dinda, kok kakak di cuekin sih? Ngomong dong." pinta Shilla halus.

Dinda mulai merespon. Ia mengalihkan tatapannya ke Shilla. Shilla sempat meneguk ludahnya. Dinda menatapnya begitu tajam. Tampaknya bocah itu tak senang ia ada didekatnya.

" hai. Kakak Ashilla." seru Shilla sembari menyunggingkan senyum andalannya. Namun senyum itu tak mempan untuk Dinda.
" Mau apa kau?" seru Dinda dengan nada tinggi.
" ahh,,, kakak? Mau bermain denganmu. Boleh?"
" Gak. Aku gak mau. Sudah sana. Pergi saja. Aku tidak membutuhkanmu. Pergi!"

Shilla benar-benar tak menyangka. Ternyata bocah manis itu begitu jutek padanya. Mengapa Alvin tak memberitahukan hal ini sebelumnya? Jadilah Shilla harus menambah daftar pekerjaannya lagi. Disamping mengajari anak-anak di sekitar rumahnya, ia pun harus membuat adiknya Alvin agar nyaman dengannya. Permintaan yang tak begitu sulit memang, namun membuat susah saja.
" sudah sana pergi." Dinda mendorong Shilla sampai ia tersungkur ke tanah. Bocah itu bukan malah menolongnya, tapi malah meninggalkannya dan masuk kedalam rumah. Bocah sableng.

Alvin yang memperhatikan dua wanita itu dari balik jendela kaget dengan perbuatan adiknya. Ia bahkan tak terima saat Shilla harus tersungkur ke tanah karena ulah adiknya itu.

Ia lalu melangkah menghampiri Shilla yang tak juga beranjak dari tempatnya terjatuh tadi. Gadis itu memang aneh.

" Maafkan, adikku."

Shilla menaikkan kepalanya. Ia mendapati Alvin disampingnya yang mengulurkan tangan untuk membantunya. Shilla membiarkan uluran itu beberapa saat sebelum ia menyambutnya.
" kenapa kamu tak bilang kalau adikmu itu sejutek dan sedingin itu? Sama juga sepertimu. Kakak dan adik yang seperti manusia es."
" apa kamu bilang?"
" ya, kalian sama-sama seperti manusia es. Dingin dan kaku. Hemm,,,, padahal kalian ganteng dan cantik, tapi harus punya sifat dingin seperti itu."

Telinga Alvin tergelitik saat Shilla menyebut dirinya " ganteng ". Entah mengapa kata-kata itu seperti melelehkan bongkahan es pada diri Alvin secara perlahan. Mau tak mau, ia menyunggingkan senyum. Walau tak terlihat begitu jelas.

" Tapi, aku suka dengan adikmu. Tampaknya kami akan cocok." seru Shilla lagi.
" cocok?"
" ya. Cocok sebagai adik dan kakak. Kami juga kan sama-sama cantik." Shilla tersenyum imut saat menyebutkan kata cantik untuk dirinya dan dinda.
" kau berharap dinda menjadi adikmu ya? Hh,,,, memangnya kamu pikir aku mau menjadi pacarmu?"

Shilla melongo mendengar penuturan Alvin. Malah selanjutnya ia tertawa terbahak-bahak.
" Apa? Hello,,,, aku sih menyukai adikmu. Tapi bukan berarti aku menyukaimu ya."

Alvin terkesiap. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Shilla. Ia sempat nyeri saat Shilla mengatakan " Hello,,,, aku memang menyukai adikmu. Tapi bukan berarti aku menyukaimu."

#bersambung.

Keep comen ya. Mau suka dan tidak suka. Karena aku sangat berharap sekali masukan dari kalian semua yang membaca ini. Wassalamualaikum.

second love

ok,,,, kalau di fb,,, cerbung ini judulnya But I Do. tapi kalau diblog aku ubah judulnya jadi Second love. biar agak gimana gitu. hihihihi....................... special thanks untuk semua readers saya di fb. Ariyanti Mustika sari. wika riani, devi argina fitriani, ziia chii alviniztarise cyank alvin, dan yang lainnya. maaf gak bisa sebutin nama satu-satu. sungkeman, sambil cipika-cipiki,,,,,,,,,,, hohohohoho..... langsung aja ya. happy reading.... xoxo

 Bismillahirrahmanirrahim.... :) This my story again. How about your story gays? Take is it. :)

 " Benar, kau tidak ingin?" Laki-laki berpostur tubuh tinggi yang sedang berdiri dengan tangan kanan yang dimasukkan kedalam saku serta tangan kiri yang sibuk memainkan rambut spikenya bersuara menggoda.

 Nada itu ia tujukan untuk seorang gadis yang sekarang berada tepat dihadapannya. Gadis yang memiliki senyum manis. Yang kala ia tersenyum akan menampakkan deretan gigi yang dihiasi behel transparan. Gadis dihadapan laki-laki yang bersuara tadi seakan menimbang-nimbang. Matanya berputar 180 derajat. Membuat lingkaran yang sempurna. Kedua tangannya semakin mengeratkan pelukannya pada buku didepan dadanya. Ia masih berdiri termangu. Tanpa menyadari kalau laki-laki dihadapannya tadi telah berlalu perlahan dari hadapannya.

 " eehhh,,,,," ucap gadis dengan rambut terurai sepunggung itu datar. Ia masih tak menyadari kalau laki-laki itu benar-benar telah berlalu dan meninggalkannya didepan perpustakaan sekolah.
 " heiii,,,,," teriaknya memanggil laki-laki yang sekarang sudah akan berbelok ke koridor yang menuju ke kelasnya.
 " Alvin, tunggu."

Dengan sekali hentakan kuat, kedua kaki jenjangnya melangkah dengan lebar dan pasti. Semakin lama semakin lebar. Sampai akhirnya kaki jenjang itu memutuskan untuk berlari.

 " heii,,, kenapa meninggalkanku? Aku kan belum memberi jawaban.

 suara itu meracau tak pasti. Alvin, laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat satu langkah sebelum ia benar-benar menghilang dibalik tembok koridor. Lantas saat mendengar racauan nyaring dari gadis yang tadi bersamanya, ia menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Ia menatap lekat gadis yang hanya mempunyai tinggi sampai sebahunya. Gadis yang sebenarnya tidak terlalu pendek.

 " Ya...." jawab Alvin singkat. Dengan nada yang biasa ia lontarkan saat bicara dengan siapapun. Kecuali dengan ibunya.
 " kenapa hanya menjawab ya?" Alvin tak bersuara. Ia mengangkat lengan tas ransel yang dengan sengaja ia sangkutkan dilengan kananya. Derak tapak sepatu yang ia hentakan memenuhi telinga gadis itu yang masih terdiam memikirkan jawaban.
 " Alvin, apa harus aku melakukannya?" tanya gadis itu ragu.
" Ashilla, kalau kau tidak mau ya sudah. Kau hanya tinggal mengganti rugi kerugian atas ulahmu itu. Sebesar 5 juta." suara Alvin menegaskan. Mata Ashilla membesar. Ia terbelalak sesaat setelah Alvin mengatakan hal itu.
 " kau,,,,!!!"
 " Terserah!!"

 Ahhhh,,,,,. Shilla menahan napas sejenak. Lalu menghembuskannya dengan paksa dan menyebabkan suara yang lumayan terdengar keras.
 " fine. Aku akan mengikuti permintaanmu." ucap Shilla pada akhirnya.

Kedua sudut bibir Alvin tertarik keatas. Ia tersenyum puas namun simpul saat mendengar jawaban dari Shilla.

 " gadis pintar." serunya lalu berbalik badan dan melangkah meninggalkan Shilla.

 Shilla yang masih memikirkan kemungkinan permintaan yang diajukan Alvin mendadak menjadi resah. Ia takut saja kalau-kalau Alvin memintanya untuk menciumnya atau bahkan memintanya untuk menemaninya tidur. Ahhh tidak-tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Kemungkinan yang berseliweran dibenak Shilla itu membuatnya dengan cepat menggeleng kuat-kuat. Ia mencoba membantah semua kemungkinan itu. Shilla menghela napas sejenak. Lalu berbalik badan. Ia melangkahkan kakinya menuju kelasnya yang berbeda rute dengan alvin. Sepanjang ia melangkah pikirannya sibuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya setelah ini. Belum lagi kalau-kalau apa yang ia pikirkan itu benar-benar terjadi. Aiihhh,,,, ia bisa saja mati sekarang juga. Bibir tipis yang merona itu juga terus meracau tanpa suara. Ia terlihat persis - seperti orang yang tempramental- jika seperti itu. Ia terus begitu sampai-sampai tidak mendengar teguran dari temannya sendiri.

 " Heii,,,,"
" Ahhh,,,," Shilla terhenyak dari lamunannya.
" Gila! Aku menyapamu tidak kamu jawab."
 " ahhh itu. Maaf, Sivia. Aku tidak mendengarnya tadi." seru Shilla sambil menundukkan tubuhnya.

 Alih-alih selanjutnya, Shilla kembali melangkahkan kakinya. Ia mengambil buku yang tadi sempat lepas dari pegangannya. " Hanya gara-gara memikirkan kemungkinan konyol itu, aku sampai seperti ini. Hhh,,,, gila!"

Tiittt,,,, nada sms terdengar dari handphone mini Shilla. Ia mengabaikannya sesaat, sebab ia sibuk membenahi buku-bukunya yang masih berserakan diatas mejanya. Bel pulang sudah berdering lumayan lama, jadi Shilla harus bersiap untuk pulang kerumah. Ia membuka pesan dihandphonenya. Menatap tajam nomor yang tak dikenalnya.

 " Permintaanku dimulai sekarang. Kamu harus pulang bersamaku dan harus ikut. Aku menunggu diperkiran sekolah. Kalau kamu melanggarnya, itu terserah kamu. Bertanda Alvin."

 Mata shilla melebar. Oh God, Alvin memintanya untuk ikut bersamanya. Apa yang akan diperbuat Alvin padanya? Shilla mengintip dari sela dinding taman sekolah. Benar saja, Alvin menunggunya dan ia sedang memutar-mutarkan kunci sepeda motor cagivanya. Shilla terlihat ragu, namun setelahnya ia melangkah juga menghampiri laki-laki itu.

 " emmm,,,,, kamu tidak akan meminta yang aneh-aneh dariku kan? Kamu gak akan menyuruhku untuk,,,,, hmmmm menemanimu tidur?" ucap shilla ragu-ragu.

 Alvin menghentikan kegiatannya memutar kunci motornya. Ia menatap tajam Shilla yang sekarang tertunduk. Namun setelahnya tawa lepas terdengar dari mulut laki-laki itu yang terlihat jarang sekali mengumbar tawa seperti sekarang. " ya enggaklah. Kamu akan tahu apa yang aku minta nantinya. Sekarang, cukup ikut aku." seru Alvin menarik Shilla untuk menaiki motornya dan memakai helm yang telah disiapkan Alvin. #Bersambung :)

Template by:

Free Blog Templates