Senin, 10 Juni 2013

Second Love - part 10

" Sivia,,,,, tunggu."

Sivia bukannya menghentikan langkahnya, ia malah semakin melangkah dengan cepat. Sesekali ia menabrak orang-orang yang berjalan berlainan arah dengannya dikoridor sekolah.

Sivia masih terus mempercepat langkahnya. Dibelakangnya, Gabriel masih terus memanggilnya dan mengejarnya tanpa perduli kalau banyak yang mencibirnya gara-gara ia terus-terusan menabrak teman-temannya yang ada dikoridor.

" Sivia,,, berhenti." Gabriel berteriak. Tapi, tak juga membuat Sivia menghentikan langkahnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mempercepat larinya. Dan tangannya pun berhasil menggapai tangan Sivia yang sekarang sudah menghentikan langkahnya.

" kenapa sih Vi??? Kok lari???"

Sivia masih membelakangi gabriel. Rasa gelisah itu seketika membekukan dirinya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa hangat yang terkumpul di pergelangan tangannya membuatnya benar-benar kehilangan kesadaran.

" Vi,,,, jawab."

Gabriel melangkah ke depan Sivia. Lalu ia menaikkan dagu gadis itu agar menatapnya balik. Tapi, Sivia tak membiarkan tangan kekar itu menyentuh dagunya terlalu lama. Dan jadilah ia menepis tangan itu.

" Lepas Kak."

Gabriel merasakan perubahan aneh yang sangat pada Sivia. Kenapa dia jadi menghindar seperti ini lagi sih?? Pikir gabriel. Ia tak lekas beranjak dari tempatnya karena tak mendapat perlakuan yang selayaknya dari Via. Melainkan ia masih mengarahkan mata Almondnya menatap mata Sivia yang sayu.

" Vi,,,, kamu kenapa sih?? Kemaren sewaktu kita ketemu dikoridor belakang sekolah kamu gak kayak gini deh."

Sivia masih tetap diam. Bahkan sekarang ia mengalihkan pandangannya ke arah lapangan basket.

" jawab Vi."
" maafkan aku kak."

Gabriel memicing. Maaf??? Tapi untuk apa? Apa Sivia punya kesalahan? Tapi rasanya tidak. Kamu tidak punya kesalahan padaku, Via. Keluh Gabriel dalam hati.

" maaf untuk apa??? Kamu kan gak salah sama aku."

Sivia menggeleng. Sekarang, ia menjadi gadis yang begitu cengeng. Kebawelanya bak di telan dedemit sekolah. Iya, kebawelan yang selalu menyertai dirinya, tak ada saat ini. Yang ada malah air mata dan tangis yang tidak terisak.

" Sivia.... Jawab. Please. Jangan hanya mengurai air mata begini." Gabriel lagi-lagi mengarahkan wajah Sivia agar langsung bertatap dengannya. Agar ia bisa membaca rasa dihati gadis dihadapannya lewat pancaran mata sayu itu.

" Aku gak mau dibilang pengkhianat kak. Jadi, aku gak mau deket-deket kakak." jelas Sivia.
" pengkhianat??? Tapi sivia yang kamu khianati Vi??? Gak ada. Lagian, aku juga masih...." Gabriel menggantungkan kalimatnya. Sembari menggaruk tengkuknya ia tersenyum malu.
" Ify...."

Grompyang...... Glutek,,,,, dumm,,,, duarr.... Mendengar nama itu, seperti sebuah bom yang meletup di dalam dirinya. Mata Almond yang tadinya berkaca malu, berubah menjadi sebuah kekagetan yang sangat berarti.

" tapi Vi...."
" kak,,,, aku gak mau Ify mencap aku sebagai pengkhianat lagi. Cukup kak. Cukup aku yang menjadi penyebab kematian Ify. Cukup aku menderita asal Ify bisa....."
" Sivia stop...."
" Aku rela seperti ini demi sahabatku kak. Jadi please,,, ngertiin aku. Aku mau ify....."
" sivia STOPP!!!" gabriel menaikkan nada bicaranya. Ia terlihat beram sekali mendengar perkataan Sivia. Wajah hitam manisnya sekarang berubah menjadi warna merah padam. Dengan menampakkan guratan urat-urata diwajahnya.

" Itu bukan salah kamu. Itu salah aku Vi."

Sivia yang tadinya hanya menitikkan air matanya, sekarang malah terisak. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang tembam.

Tanpa meminta persetujuan sebelumnya, Gabriel langsung menyurukkan kepala Via ke dalam pelukannya.

Gabriel bisa merasakan goncangan hebar ditubuh Sivia. Ia memeluk tubuh gadis itu erat. Ia tidak ingin melepaskan pelukannya. Ia tak perduli seberapa usaha sivia untuk lepas dari pelukanya.

" lepas.... " Ucap Sivia parau dibarengi isakannya.
" itu salah ku Via. Kalau aja aku gak memutuskannya dan gak memilih untuk mengejar gadis yang memang aku cintai dari dulu, pasti itu gak akan terjadi via." Seru Gabriel mencoba menenangkan Via.

Sivia memukul dada bilang Iel pelan. Karena tangisnya, seragam sekolah Iel sudah basah dibagian depannya.

" ini semua karena ego ku Vi. Karena egoku untuk mendapatkan orang yang aku mau."

Sivia semakin terisak. Orang yang Gabriel mau??? Dan itu juga pastilah bukan aku. Oh Ify,,,, aku juga dengar kan perkataan gabriel??? Sivia merangkai kalimat itu dalam hatinya.

" dan sekarang, aku gak mau menunggu lama. Aku juga gak mau melihat gadis itu menjadi milik orang lain."

Sivia melepaskan pelukan Gabriel yang mulai renggang.

" pergilah kak. Kejar gadismu itu."
" aku gak akan pergi Via."
" kenapa??? Bukannya kamu gak mau kehilangannya???"
" aku gak akan pergi kemana-mana. Sebab gadis itu ada didepanku. Ada bersamaku."

Sivia tertegun. Gadis itu? Aku?? Sivia menggeleng. Ini bukan lelucon yang lucu.

" jangan bercanda kak."
" aku serius Via. Aku menyukaimu dari dulu. Dari awal kamu masuk SMP. Tapi,,, bodohnya aku yang malah memilih Ify."

Dab tes,,,,, Gabriel yang kuat sekarang juga menitikkan air matanya. Sivia spontan mengarahkan jarinya menghapur air mata itu. Tap,,,, tangan Sivia digenggang Gabriel di depan pipinya.

Hening. Keduanya terdiam, meresapi momen-momen yang sedang terjadi diantara keduanya.

" dan sekarang aku gak mau kehilangan kamu lagi Via."

Gabriel mengulangi menyurukkan sivia kedalam pelukannya. Tapi yang berbeda sekarang adalah Sivia tak bereaksi apa-apa. Ia hanya mematung didalam pelukan orang yang sebenarnya juga ia cintai itu.

" aku gak bisa mengkhianati ify."

Gabriel mendengar ucapan Sivia. Ia tahu betul persahabatan antara dua gadis itu. Ia tak ingin Via merasa mengkhianati Ify, tapi disisi lain ia juga tak ingin kehilangan Sivia.

" mengertilah Vi. Ify pasti mengerti. Dan dia pasti bahagia melihat sahabatnya bahagia."

Cup,,,, Gabriel mengakhiri perkataannya pada sivia dengan sebuah kecupan hangat di pucuk kepala gadis itu.

***********************

Shilla masih sibuk menulisi catatan biologinya yang tertinggal. Dengan pinjaman buku dari Agni, ia sibuk menyelesaikan catatannya. Tanpa tahu kemana sahabatnya - Sivia- pergi.

Dukk,,,, Kursi disebelah Shilla yang tadinya kosong sekarang sudah kembali ditempati oleh sang empunya, Sivia.

" dari mana Vi???" tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya.

Sivia menggeleng. Dan pastilah, Shilla tidak tahu kalau Sivia melakukan itu.

" vi??? Kamu dari ma....."

Shilla menggantungkan kalimatnya. Saat ia menyadari mata Sivia sedikit membengkat. Dan ada bekas air mata disana.

" vi??? Kamu kenapa? Siapa yang buat kamu kayak gini."
" gak apa-apa Shill." jawab Via singkat.

Shilla tahu Via berbohong. Dan dia juga paling benci kalau Sivia tidak jujur padanya. Ia berusaha menanyai Via dan catatan biologinya pun terabaikan.

" vi,,, tell me. Kamu kenapa sih?? Gak mungkin kamu gak kenapa-napa." seru shilla khawatir.

Sivia menarik napas panjang. Lalu ia memeluk Shilla dan kembali menangis.

" shill,,, aku gak mau khianati Ify."
" loh,,, memangnya ada apa sih Vi?? Cerita deh."

Tanpa melepas pelukannya, Sivia pun bercerita kepada Shilla.

" kak Gabriel bilang kalau ternyata dia juga punya rasa yang sama seperti aku. Aku bahagia mendengarnya Shill, tapi di lain sisi aku gak mau bahagia sedangkan Ify malah nantinya membenciku."

Shilla melepaskan pelukannya. Lalu, mata onyxnya menatap tepat dikedua bole mata Via.

" Vi dengar. Ify pasti tahu kalau kalian berdua sama-sama mencintai. Dan dia gak mungkin sejahat itu juga kan membiarkan kamu jauh dari orang yang mencintai kamu. Ify pasti bahagia disana melihat dua orang yang dia sayangi bersatu."

Shilla mengambil jeda sesaat. Lalu kembali melanjutkan kalimatnya. Lebih tepatnya opininya untuk Sivia.

" jangan bohongi perasaan kamu sendiri vi. Kalau kamu gak mau dia pergi lagi."

Keduanya berpelukan lagi. Sivia mencoba membuka pemikirannya. Mungkin benar, Ify tidak akan sejahat itu padanya. Ify akan bahagia kalau orang yang dia sayangi bersatu.

" terima kasih ya Shill".

Shilla tersenyum lebar. Lalu, kembali melanjutkan catatannya.

**************
Siangnya sepulang sekolah, Via menemui gabriel yang telah menunggunya di taman sekolah. Laki-laki itu tersenyum menyambutnya yang masih melangkah mendekatinya.

" kamu dateng juga, Vi???"

Sivia mengangguk. Ia tersenyum simpul ke arah gabriel. Tiba-tiba, Gabriel memberikan Sivia sebuah boneka Winnie the pooh besar kepada Sivia.

" boneka kesukaan kamu."

Sivia menerimanya. Lalu memeluk boneka itu dan kembali menyunggingkan senyum untuk Gabriel.

" Vi.... Aku mau kamu jadi pacarku."

Sivia mengalihkan pandangannya. Gabriel, menembaknya. Ini yang telah lama dinantikannya.

" Kita akan sama-sama nyekar ke makam ify jika kamu menerima ku dan memintanya untuk merestui kita."

Sivia menganggukkan kepalanya. Sekarang, ia berani menatap wajah Gabriel.

" jadi kamu????"
" iya kak. Aku mau."

Gabriel repleks menarik boneka Sivia dan langsung memeluk gadisnya itu. Keduanya sama-sama tersenyum. Dan air mata Sivia terurai lagi, sebagai air mata kebahagiaan.

Cinta benar-benar tak bisa ditebak apa akhirnya. Bisa saja apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan. Tapi justru sebaliknya. Tapi,,,, jika kita tahu cinta itu sendiri kita bisa menjalaninya. Menjadikan halangan sebagai cobaan untuk memperkukuh jalinan itu. Agar tak mudah tumpang jika tertiup angin kecil.

*************
udah panjang belum??? Masih belum ya??? Tinggalkan jejak ;)

@widarihasnita

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates