Senin, 10 Juni 2013

bukan "Memeluk Bulan"

Aku menatap mata itu lagi. Mata yang selalu membuatku tak bisa berkutik. Mata yang selalu membuatku membeku setiap kali melihatnya. Mata yang selalu menatap tajam apa yang dilihatnya.
Dari sini, aku hanya bisa melihatnya dalam kebisuan. Dengan masih mengaduk-aduk es teh manis yang tadi ku pesan dari ibu kantin, aku masih terus memandanginya. Tepatnya, mencuri pandang darinya.
Ting,,, ting,,, ting,,,,. Bunyi itu tercipta dari benda didepanku. Benda yang sedari tadi hanya ku aduk-aduk saja isinya.
" Shill,,, kok gak dimakan sih?" tanya Angel, sahabatku.
Aku tersenyum hambar kepadanya. Lalu, aku memulai lagi apa yang menjadi rutinitasku setiap kali aku berada disini. Menatapnya dari ekor mataku.
" Shill,,,," Angel menyerukan namaku. Namun aku tak merespon seruannya itu.
" Shill,,,," ulangnya lagi.
Aku langsung menghadapkan wajahku menatapnya. Dan saat aku begitu, mata indah itu tertangkap oleh indra penglihatanku.
Dan deg,,,, rasa itu mengalir dengan hebatnya. Oh tuhan,,,, mata itu, keluhku. Ia menatapku juga. Tapi, tak ada senyum yang ia ciptakan untukku. Ia hanya memandangku dengan sikap dinginnya. Seperti orang yang tak saling mengenal. Dan mungkin dia memang tak mengenalku.
Aku buru-buru menundukkan kepalaku. Rasa gelisah yang menjalar disekujur tubuhku, membuatku salah tingkah. Dan untuk menutupinya, aku pura-pura menarik mangkok bakso yang sedari tadi ku abaikan. Angel memicingkan matanya melihat tingkahku yang mendadak berubah itu.
" hello,,,," Angel mengibaskan tangannya didepan wajahku.
" apaan sih, Ngel??"
Angel masih memicingkan matanya. Sebelah alisnya terangkat. Dan kerutan itu menghias keningnya yang agak lebar.
Dari ekor mataku, aku melihatnya beranjak meninggalkan meja kantin yang tadi ia tempati. Bersama teman-temannya, ia melangkah ke arah lapangan basket. Lapangan favoritnya. Karena yang aku tahu, ia sangat menyukai olahraga itu. Ahh,,, andai saja aku anak basket, mungkin aku akan sering bertemu dengannya.
Dari tempatku, lapangan basket itu terlihat sangat jelas. Bersama teman-temannya, ia mengoper bola dan langsung mensyutnya. Hap,,, bola itu tepat sasaran. Dan aku, entah mengapa menyunggingkan senyumku saat melihatnya berhasil memasukkan bola didaerah three point.
Ia kebali mendribbel bola itu. Rambutnya yang tipis, lepek karena keringat yang membanjiri tubuhnya. Namun walaupun ia begitu, ia masih terlihat tampan. Rambut depannya, jatuh menutupi dahinya. Ya tuhan,,,, dia begitu tampan saat begitu.
" Rio,,,,,"
Ify, melangkah mendekatinya. Gadis yang ku tahu sangat dekat dengan orang yang ku kagumi itu mendekati Rio dengan sebuah handuk dan sebotol minuman.
" ini,,,," serunya.
Rio menerimanya dengan senyumnya yang menawan. Aku lantas menundukkan kepalaku. Lalu, bangkit dari dudukku dan melangkah ke arah kelas.
" eeehhh Shill,,,, tunggu."
Ahh aku baru ingat. Angel,,, aku meninggalkannya.
" kok,,,,"
" maaf, Ngel. Mendadak aku ingat kalau aku belum menyelesaikan catatan kimiaku." aku berbohong kepadanya. Dan aku tak tahu seberapa marahnya Angel kalau sampai dia tahu aku membohonginya.
Angel menganggukkan kepalanya samar. Lalu ia mengikutiku tanpa menghentikan kegiatannya mengunyah bubble gum.
************************
Aku membuka tutup botol minuman kaleng yang ku beli dikantin tadi siang. Sambil melangkah menuruni anak tangga, aku menikmati minuman itu. Brusss,,,, ahh. Tiba-tiba saja hujan mengguyur sekolahku yang sudah sepi. Aku memasang tampang lesuku. Selalu saja sial. Mengapa saat giliranku piket selalu turun hujan begini? Aku mengeluh dalam hati.
Aku menatap nanar rintik-rintik air yang turun dari atap bumi. Lalu aku menutupi kepalaku dengan tas ranselku untuk menyebrang ke koridor yang langsung tembus ke depan gerbang sekolah.
Aku melirik sekitarku. Benar-benar sepi. Kalau saja tadi aku menerima tawaran Angel untuk menemaniku, pastilah aku tak sendirian begini.
Langit diatas sana tak menunjukkan tanda-tanda untuk menghentikan hujan yang ia turunkan. Malah, hujan itu semakin deras aja. Aku mendengus beberapa kali. Bunyi dari handphoneku lantas mengalihkan perhatianku. Kak Alvin, kakak laki-lakiku baru saja mengirimiku pesan. Dia terjebak macet. Dan sialnya lagi, aku harus lebih lama disekolah untuk menunggunya menjemputku.
" belum pulang?"
Suara itu membuatku menoleh. Hitungan detik setelahnya, tubuhku mematung. Aku melihat mata indah itu. Aku melihat wajah hitam manisnya yang basah karena air hujan. Sesekali ia mengibaskan kepalanya untuk mengurangi kadar air yang membasahi kepalanya. Pantulan bola yang ia bawa menjadi sebuah suara yang menyertai kebisuanku.
Ahh,,,. Aku segera menggeleng. Aku baru tersadar, kalau aku belum menjawab pertanyaannya. Aku benar-benar kelu. Aku tak bisa bersuara dihadapannya.
" kenapa?"
Aku menatap hujan. Dan ia juga melakukan hal yang sama.
" apa hanya karena hujan?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. Angin yang menyertai hujan itu berhembus mengenai tubuhku. Membuat rasa dingin yang hebat dikulit-kulitku.
" aku menunggu kakakku." jawabku setelahnya.
Entah apa yang sebenarnya sedang ia lakukan. Ia memasukkan tangannya kedalam ranselnya. Dan mengeluarka sebuah jacket kulit dan menyerahkannya padaku.
" pakailah." ucapnya.
Aku dengan ragu dan malu-malu mengambil jacketnya juga.
" kamu?"
" tenang saja. Tubuhku sudah terlanjur basah. So,,, lebih baik kamu yang menggunakannya." ucapnya lagi.
Aku menatap jacketnya. Lalu, mengalihkan pandanganku ke belakang tubuhnya.
" kau mencari siapa?"
Aku diam. Dan lagi-lagi aku hanya bisa memberi gelengan untuknya.
" kau sedang menunggu pacarmu ya? Makanya pulangnya lama?" ucapku asal. Dan aku tentunya sudah siap jikalau ia menjawab pertanyaanku itu dengan jawaban yang sebenarnya tidak aku harapkan.
" pacar?"
Aku menganggukkan kepalaku. Iya, pacarmu rio. Siapa lagi? Ucapku dalam hati.
" aku tidak punya pacar."
Jawaban itu melegakan hatiku. Dan saat mendengarnya aku tersenyum.
" kalau begitu mengapa kau belum pulang?" tanyaku padanya.
" entahlah. Aku memang sering pulang lebih lama. Menurutku, aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk bermain dengan benda ini." ia menunjuk bola yang masih saja dipantulkannya.
" kakakmu masih lama?"
Aku mengangkat bahuku.
" dia bilang, terjebak macet."
" lebih baik kau beritahu kakakmu. Supaya tidak usah menjemputmu. Biar kamu pulang bersamaku saja."
Aku membulatkan mataku. Apa aku tidak salah dengar? Rio mengajakku pulang bersamanya?
Rio langsung menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya saja. Ia lantas membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan aku masuk.
" kau benar-benar tidak punya pacar rio?"
" kau tahu namaku?"
Aku menganggukkan kepalaku. Jelas saja aku tahu tentangmu Rio. Bahkan kapan kamu ulang tahun juga aku tahu. Semua tentangmu aku tahu. Selain isi hatimu.
" memangnya kenapa? Dari tadi kamu menanyakan itu."
" aku hanya takut kalau ada yang marah melihatmu mengantarku pulang."
Rio tak menjawab ucapanku. Suasana hening pun menyeruak. Rio tak lagi mengeluarkan suaranya. Dan aku, aku jadinya hanya menatap dashboard mobilnya saja.
" Kamu selalu memperhatikanku ya?" pertanyaan Rio spontan membuatku tercekat. Membuatku seperti kehilangan oksigen untuk aku bernapas.
Dari mana dia tahu? Atau jangan-jangan,,,, ahhh bodohnya aku.
" hhh,,,, aku tahu tentang apa yang kau lakukan, Shilla."
" kau tahu namaku?"
Rio menganggukkan kepalanya. Ia lalu menghentikan mobilnya dipinggir jalan raya.
" Tentu. Aku tahu. Aku tahu apa yang sering kamu lakukan dikantin. Dan kenapa aku tahu? Karena aku juga memperhatikanmu."
Rio. Ahhh,,,, ia berbohong? Atau ia sedang bercanda. Rio,,, jangan membuatku menangisi kebodohanku karena memperhatikanmu dalam diamku. Jangan kau sindir perbuatan bodohku itu dengan kata-kata mu yang kamu bilang kalau kamu juga memperhatikanku.
" Kau jangan meledekku, Rio."
Rio menaikkan daguku. Dan lagi, rasa gelisah itu mengalir diseluruh tubuhku.
" Aku mencintaimu. Asal kau tahu, aku bahkan pulang lebih lama tadi karena aku menunggumu."
Aku membulatkan mataku. Kata-kata itu?? Heii,,,, sejak kapan Rio memperhatikanku?
Aku menepis tangannya. Lalu mengalihkan pandanganku menatap jalanan yang masih diguyur hujan.
" aku memang mempunya rasa khusus ini untukmu. Tapi,,,, jangan membuatku membutakan mataku. Aku tahu, kau sudah punya gadis pilihanmu kan?"
Aku mendakwa Rio. Tapi aku bukan mendakwanya tanpa alasan. Cukup banyak alasan untuk ku ungkapkan mengenai penuturanku tadi.
" Maksudmu?"
" aku tahu, kau menyukai ify kan? Jadi jangan pernah mengatakan kalau kamu mencintaiku." Aku menangis. Cinta ini membuatku bodoh. Membuatku bodoh karena begitu cengengnya menangisi kebodohanku itu.
Rio tertawa. Iya,,, dia tertawa. Dia pastilah menertawakanku. Menertawakan kebodohanku.
" hentikan tawamu. Aku tahu aku bodoh."
" hei,,,,. Kenapa dengamu? Aku tahu kau mempunyai rasa yang sama denganku. Masalah ify? Dia itu adik sepupuku, Shilla. Jangan cemburu dengannya."
Rio menggenggam tanganku. Lalu menciumnya mesra.
" Sikap dinginku itu kutunjukka karena aku ingin melihat seberapa bisa kamu tahan dengan sikapku itu."
Aku meninju lengan Rio pelan. Dan Rio, mengambil tanganku itu. Dunia bagaikan menghentikan putaran waktunya. Pandangan mata indah itu membuatku terbuai lagi.
" jadilah pacar ku, Shilla. Untukku."
Aku mengangguk. Tuhan,,, inikah cerita indah dibalik penantianku? Inikah cerita indah dibalik kekecewaanku selama aku memperhatikan rio?
Aku memeluk Rio. Walau tubuhnya basah, aku tak pernah perduli. Karena saat ini Cinta itu datang untukku. Datang untuk menyambut penantianku. Membuatnya menjadi sesuatu yang berharga.

always love

semua reash hati manusiamu
untuk membagi kisah atas nama cinta,,,,,

Aku kembali mendatangi makam orang yang paling aku sayangi. sepanjang hidupku. iya,,,, sepanjang hidupku. orang yang selalu akan hidup didalam hatiku, walaupun ia telah lebih dulu melangkahkan kakinya jauh dariku. jauh dan tak pernah bisa terkejar oleh ku.

aku menciumi nisannya. tanah yang sudah hampir rata ini, tak pernah sekalipun luput dari pandanganku. air mata ku selalu tertupah disini. dimakan orang terkasihku. ashilla.

" Sayang,,, kau pasti melihat aku disini kan? dan aku juga yakin kalau kamu sedang ada disampingku." seruku.

disetiap kesempatan aku datang ke tempat ini, aku tak pernah lupa untuk membawa bunga kesukaannya. bunga nawar merah. dan sekarang, aku sedang meletakkan bunga kesukaannya. dan tanpa kurang apapun, aku memilihkan bunga yang paling indah untuknya. karena dia juga sangat indah. so,,, tak pantas kalau aku memberikannya bunga yang layu.

" Shill,,, ahh rasanya aku tak ingin pergi dari sini. aku ingin selalu bersamamu. menemanimu," seruku lagi.

aku tak perduli, meski ucapanku tak akan pernah terjawab sampai mengga berbuah jeruk. yang artinya itu sangat mustahil buka? ya,,, memang benar.

aku lantas menelengkan kepalaku. jam ditangan kiriku sudah menunjukkan detik-detik matahari akan terbenam. dan berarti, hari sudah aka menjelang malamn. tapi,,, aku benar-benar tak ingin meninggalkan istriku sendirian disini.

" Rio,, sudahlah. besok kembali lagi kesini. kasian anak kamu."

Sahabatku alvin, menasehatiku. iya,,, benar katanya. kasian anakku. kasian buah cintaku dan shilla. dia juga pasti akan sedih jika berlama-lama melihatku selalau meratap begini.

" papa,,, hari sudah menjelang magrib. lebih baik kita pulang dan mendoakan mama dalam sujud kita." seru putri kecilku, Cindai.

Aku tersenyum menatap satu-satunya orang, yang menurutku renkarnasi dari dir istriku. sebelum benar-benar meninggalkan tempat istriku ini, aku mncium mesra nisannya.

" sayang,,, aku pulang dulu."

Anakku Cindai, juga mengikutiku. ia mendekat ke arah nisan dan menciumnya, " Mama,,, aku sama papa pulang dulu ya. tapi mama jangan khawatir, Cinda janji bakal balik lagi kesini kok. dan bawain bunga buat mama."

Ahh,,, anakku begitu bijaknya. walau terlahir sebagi yatim ia tak pernah sedikitpun memperlihatkan kekuarngannya. kekurangannya akan kasih sayang seorang ibu.

kami lantas pergi dari tempat istriku beristirahat dengan tenang itu. lalu, kami bersama-sama melnagkah menuju mobil. Aku duduk di kursi penumpang. sedang anakku duduk disebelah Gabiel - sang pengemudi- yang juga sahabat dekatku.

aku membuang pandanganku ke arah langit. menatap burung-burung yang berterbangan untuk kembali ke sangkar mereka. ahh,,, aku ingin sekali bisa seperti itu bersama anak juga istriku.


***************************************************
derai air mata disetiap sujudmu 
seperti tak pernah cukup untuk menjagaku

Aku menatap punggung orang-orang yang sangat kusayangi itu. mereka tak pernah sekalipun meluangkan waktunya tanpa mengunjungi tempatku. temap yang menjadi benteng pemisah antara aku dengan mereka. aku tak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpaku. walau Tuhan telah memisahkan aku dengan suami dan anakku, tapi aku begitu bersyukur kepadanya karena-Nya orang-orang yang aku sayangi tak pernah melupakanku.

Aku mengelus bunga pemberian suamiku itu. ia tak pernah lupa untuk meninggalkan bunga favoritku ini diatas makamku.
" hati-hati sayang. " seruku menjawab perkataan anakku saat ia berpamitan denganku. untuk pulang dan meninggalkan tempatku ini.

Anak yang tak pernah ku beri air susuku itu begitu sangat cantik. walau ia tak pernah melihatku, tapi ia begitu menyayangiku. ia selalu ikut bersama Rio - suamiku- setiap kali ia datang ketempatku ini.

aku memang telah lama pergi meninggalkan mereka. terhitung sudah 10 tahun yang lalu bahkan. tapi lihat?? mereka masih merasakan kehilanganku. dan aku, juga begitu.

disetiap malam, aku juga tahu. suami dan ankku selalu mendoakan aku. mendoakan aku dalam setiap sujud mereka. suamiku, selalu rutin melantunkan ayat-ayat cinta untukku. disela doa dalam malam-malamnya yang sunyi.

Ampun yang selalu dipinta olehnya untukku kepada-Nya, mungkin bagaikan candu tersendiri untuk keraguan hatinya kala merindukanku.

" dan ketahuilah suamiku,,, kita akan bertemu jika tuhan mengijinkan."

**********************************
" papa,,, sore nanti kita mengunjungi mama lagi kan?"

Aku menyunggingkan senyum lembut penuh kasih sayang itu kepada ankak semata wayangku.
" Lihatlah, Sayang. dia bahkan semakin mirip denganmu." seruku dalam hati.


 Aku mengecup puncak kepala ankku itu. ahh,, ternyata anakku sudah tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik. andai saja Shilla ada disini dan ikut merawatnya, pasti ia akan bangga melihat ini semua.

" halo,,,," suara itu menyeru dari pintu utama rumahku.

Tak perlu menunggu lama untuk memastikan siapa orang itu, ankku langsung berlari dan menghampiiri wanita yang selama ini telah menjaganya dari kecil. dan sungguh beruntungnya kami - aku dan shila- memiliki dua sahabat yang begitu setia.

" tante via,,," anakku begitu girangnya saat melihat sahabat dekat istriku itu.

Sivia pun dengan lepasnya memeluk anakku yang juga telah di anggapnya sebagai anak sendiri. gabriel dengan senyum mengembang diwajahnya juga ikut-ikutan mengacak kepala ankku.

" heii,,, kamu dicariin tuh" seru gabriel kepada anakku.
" siapa om?" cindai begitu antusiasnya menanggapi perakataan gabriel.
" tuh,,,,"

Gabrile menunjuk orang yang dimaksudnya dengan dagu. dan reaksi yang diberikan anakku, ia langsung berlari menghampiri orang itu.

" bagas? kapan kamu dateng?"

YA,,, anak itu bagas. adik bungsu Gabriel yang juga berusia sama dengan anakku. aku pun melangkahkan kakiku untuk mendekati mereka semua.

" halo Om" ucap bagas kepadaku. sungguh sangat sopan.

aku tersenyum kepadanya. lalu, memepersilahkan Gabriel dan sivia untuk duduk. mereka semua berkumpul di rumahku bukan karena tidak ada apa-apa. kami semua berkumpul disini untuk merayakan hari ulang tahun istriku yang ke 35.

" papa,,, bagas juga ikut?" tanya anakku.

aku menganggukan kepalaku sebagai tanda mengiyakan perkataannya. dan saat mendengar jawabanku itu, wajahnya mengembangkan senyum penuh rona berseri.

tepat pukul 16.00 kami semua berangkat ke makam Shila. dan tak lupa, aku sudah menyiapkan gaun untuk cindai. gaun yang dulu pernah dikenakan Shilla pada  hari pertunangan kami.

aku lantas tak mengedipkan mataku. mungkin gabriel dan sivia juga melakukan hal yang sama. cindai, begitu mirip dengan istriku. dan tanpa sadar, air mataku menitik melihatnya. ohh Shilla, aku begitu merindukanmu. seruku dalam hati.

aku melihat sivia meletakkan kepalanya dibahu gabriel dan dia juga menangis melihat Cindai. " dia begitu mirip dengan shilla." serunya.

gabriel mengelus punggung istrinya itu untuk menenangkan. tapi, memang gabriel juga harus merngakui itu. ia melihat Shilla pada diri cindai dan ia juga menangis setelahnya.

" shilla,,,,"

Cindai langsung menghamburkan dirinya memelukku. dan aku memeluknya dengan sangat erat.

" mama,,,,, Cindai, papa, bagas sama tente dan om gabriel datang."

********************************

Aku melihat mereka. oh anakku. ia sangat canti sekali menggunakan gaun itu. gaun pertunanganku dengan Rio.
" selamat ulang tahun mama." seru anakku. yang setelahnya juga disusul oleh suamiku.

ia lagi mneletakkan mawar kesukaanku. dan setalhnya iamengecup nisanku.
" selamat ulang tahun istriku. ini sesuai permintaanmu. gaun ini digunakan cinda saat ia genap berumur 10 tahun."

Aku menitikkan air mataku. suamiku,,, ia masih mengingat pesanku itu.

" shilla,,, temuilah mereka dengan wujudmu." 
 suara itu, menggema. dan setelhnya cahaya putih menyelimuti diriku.

" mama,,,"
" Shilla,,,"

Mereka bisa melihatku. ohh tuhan, terima kasih untuk kesempatan ini.

aku langsung memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih.

" jagalah anak kita baik-baik rio. dan kalian sivia-gabriel,, terima kasih sudah menjaga anakku."

Waktuku habis. dan aku hilang dari pandangan mereka. aku tertarik kedalam dunia yang benar-bnar jauh dari mereka. aku melihat mereka memasang wajah kesedihan.

"selamat jalan sayang. suatu saat, kita akan bertemu lagi....."

*end

Second Love - part 10

" Sivia,,,,, tunggu."

Sivia bukannya menghentikan langkahnya, ia malah semakin melangkah dengan cepat. Sesekali ia menabrak orang-orang yang berjalan berlainan arah dengannya dikoridor sekolah.

Sivia masih terus mempercepat langkahnya. Dibelakangnya, Gabriel masih terus memanggilnya dan mengejarnya tanpa perduli kalau banyak yang mencibirnya gara-gara ia terus-terusan menabrak teman-temannya yang ada dikoridor.

" Sivia,,, berhenti." Gabriel berteriak. Tapi, tak juga membuat Sivia menghentikan langkahnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mempercepat larinya. Dan tangannya pun berhasil menggapai tangan Sivia yang sekarang sudah menghentikan langkahnya.

" kenapa sih Vi??? Kok lari???"

Sivia masih membelakangi gabriel. Rasa gelisah itu seketika membekukan dirinya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa hangat yang terkumpul di pergelangan tangannya membuatnya benar-benar kehilangan kesadaran.

" Vi,,,, jawab."

Gabriel melangkah ke depan Sivia. Lalu ia menaikkan dagu gadis itu agar menatapnya balik. Tapi, Sivia tak membiarkan tangan kekar itu menyentuh dagunya terlalu lama. Dan jadilah ia menepis tangan itu.

" Lepas Kak."

Gabriel merasakan perubahan aneh yang sangat pada Sivia. Kenapa dia jadi menghindar seperti ini lagi sih?? Pikir gabriel. Ia tak lekas beranjak dari tempatnya karena tak mendapat perlakuan yang selayaknya dari Via. Melainkan ia masih mengarahkan mata Almondnya menatap mata Sivia yang sayu.

" Vi,,,, kamu kenapa sih?? Kemaren sewaktu kita ketemu dikoridor belakang sekolah kamu gak kayak gini deh."

Sivia masih tetap diam. Bahkan sekarang ia mengalihkan pandangannya ke arah lapangan basket.

" jawab Vi."
" maafkan aku kak."

Gabriel memicing. Maaf??? Tapi untuk apa? Apa Sivia punya kesalahan? Tapi rasanya tidak. Kamu tidak punya kesalahan padaku, Via. Keluh Gabriel dalam hati.

" maaf untuk apa??? Kamu kan gak salah sama aku."

Sivia menggeleng. Sekarang, ia menjadi gadis yang begitu cengeng. Kebawelanya bak di telan dedemit sekolah. Iya, kebawelan yang selalu menyertai dirinya, tak ada saat ini. Yang ada malah air mata dan tangis yang tidak terisak.

" Sivia.... Jawab. Please. Jangan hanya mengurai air mata begini." Gabriel lagi-lagi mengarahkan wajah Sivia agar langsung bertatap dengannya. Agar ia bisa membaca rasa dihati gadis dihadapannya lewat pancaran mata sayu itu.

" Aku gak mau dibilang pengkhianat kak. Jadi, aku gak mau deket-deket kakak." jelas Sivia.
" pengkhianat??? Tapi sivia yang kamu khianati Vi??? Gak ada. Lagian, aku juga masih...." Gabriel menggantungkan kalimatnya. Sembari menggaruk tengkuknya ia tersenyum malu.
" Ify...."

Grompyang...... Glutek,,,,, dumm,,,, duarr.... Mendengar nama itu, seperti sebuah bom yang meletup di dalam dirinya. Mata Almond yang tadinya berkaca malu, berubah menjadi sebuah kekagetan yang sangat berarti.

" tapi Vi...."
" kak,,,, aku gak mau Ify mencap aku sebagai pengkhianat lagi. Cukup kak. Cukup aku yang menjadi penyebab kematian Ify. Cukup aku menderita asal Ify bisa....."
" Sivia stop...."
" Aku rela seperti ini demi sahabatku kak. Jadi please,,, ngertiin aku. Aku mau ify....."
" sivia STOPP!!!" gabriel menaikkan nada bicaranya. Ia terlihat beram sekali mendengar perkataan Sivia. Wajah hitam manisnya sekarang berubah menjadi warna merah padam. Dengan menampakkan guratan urat-urata diwajahnya.

" Itu bukan salah kamu. Itu salah aku Vi."

Sivia yang tadinya hanya menitikkan air matanya, sekarang malah terisak. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang tembam.

Tanpa meminta persetujuan sebelumnya, Gabriel langsung menyurukkan kepala Via ke dalam pelukannya.

Gabriel bisa merasakan goncangan hebar ditubuh Sivia. Ia memeluk tubuh gadis itu erat. Ia tidak ingin melepaskan pelukannya. Ia tak perduli seberapa usaha sivia untuk lepas dari pelukanya.

" lepas.... " Ucap Sivia parau dibarengi isakannya.
" itu salah ku Via. Kalau aja aku gak memutuskannya dan gak memilih untuk mengejar gadis yang memang aku cintai dari dulu, pasti itu gak akan terjadi via." Seru Gabriel mencoba menenangkan Via.

Sivia memukul dada bilang Iel pelan. Karena tangisnya, seragam sekolah Iel sudah basah dibagian depannya.

" ini semua karena ego ku Vi. Karena egoku untuk mendapatkan orang yang aku mau."

Sivia semakin terisak. Orang yang Gabriel mau??? Dan itu juga pastilah bukan aku. Oh Ify,,,, aku juga dengar kan perkataan gabriel??? Sivia merangkai kalimat itu dalam hatinya.

" dan sekarang, aku gak mau menunggu lama. Aku juga gak mau melihat gadis itu menjadi milik orang lain."

Sivia melepaskan pelukan Gabriel yang mulai renggang.

" pergilah kak. Kejar gadismu itu."
" aku gak akan pergi Via."
" kenapa??? Bukannya kamu gak mau kehilangannya???"
" aku gak akan pergi kemana-mana. Sebab gadis itu ada didepanku. Ada bersamaku."

Sivia tertegun. Gadis itu? Aku?? Sivia menggeleng. Ini bukan lelucon yang lucu.

" jangan bercanda kak."
" aku serius Via. Aku menyukaimu dari dulu. Dari awal kamu masuk SMP. Tapi,,, bodohnya aku yang malah memilih Ify."

Dab tes,,,,, Gabriel yang kuat sekarang juga menitikkan air matanya. Sivia spontan mengarahkan jarinya menghapur air mata itu. Tap,,,, tangan Sivia digenggang Gabriel di depan pipinya.

Hening. Keduanya terdiam, meresapi momen-momen yang sedang terjadi diantara keduanya.

" dan sekarang aku gak mau kehilangan kamu lagi Via."

Gabriel mengulangi menyurukkan sivia kedalam pelukannya. Tapi yang berbeda sekarang adalah Sivia tak bereaksi apa-apa. Ia hanya mematung didalam pelukan orang yang sebenarnya juga ia cintai itu.

" aku gak bisa mengkhianati ify."

Gabriel mendengar ucapan Sivia. Ia tahu betul persahabatan antara dua gadis itu. Ia tak ingin Via merasa mengkhianati Ify, tapi disisi lain ia juga tak ingin kehilangan Sivia.

" mengertilah Vi. Ify pasti mengerti. Dan dia pasti bahagia melihat sahabatnya bahagia."

Cup,,,, Gabriel mengakhiri perkataannya pada sivia dengan sebuah kecupan hangat di pucuk kepala gadis itu.

***********************

Shilla masih sibuk menulisi catatan biologinya yang tertinggal. Dengan pinjaman buku dari Agni, ia sibuk menyelesaikan catatannya. Tanpa tahu kemana sahabatnya - Sivia- pergi.

Dukk,,,, Kursi disebelah Shilla yang tadinya kosong sekarang sudah kembali ditempati oleh sang empunya, Sivia.

" dari mana Vi???" tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya.

Sivia menggeleng. Dan pastilah, Shilla tidak tahu kalau Sivia melakukan itu.

" vi??? Kamu dari ma....."

Shilla menggantungkan kalimatnya. Saat ia menyadari mata Sivia sedikit membengkat. Dan ada bekas air mata disana.

" vi??? Kamu kenapa? Siapa yang buat kamu kayak gini."
" gak apa-apa Shill." jawab Via singkat.

Shilla tahu Via berbohong. Dan dia juga paling benci kalau Sivia tidak jujur padanya. Ia berusaha menanyai Via dan catatan biologinya pun terabaikan.

" vi,,, tell me. Kamu kenapa sih?? Gak mungkin kamu gak kenapa-napa." seru shilla khawatir.

Sivia menarik napas panjang. Lalu ia memeluk Shilla dan kembali menangis.

" shill,,, aku gak mau khianati Ify."
" loh,,, memangnya ada apa sih Vi?? Cerita deh."

Tanpa melepas pelukannya, Sivia pun bercerita kepada Shilla.

" kak Gabriel bilang kalau ternyata dia juga punya rasa yang sama seperti aku. Aku bahagia mendengarnya Shill, tapi di lain sisi aku gak mau bahagia sedangkan Ify malah nantinya membenciku."

Shilla melepaskan pelukannya. Lalu, mata onyxnya menatap tepat dikedua bole mata Via.

" Vi dengar. Ify pasti tahu kalau kalian berdua sama-sama mencintai. Dan dia gak mungkin sejahat itu juga kan membiarkan kamu jauh dari orang yang mencintai kamu. Ify pasti bahagia disana melihat dua orang yang dia sayangi bersatu."

Shilla mengambil jeda sesaat. Lalu kembali melanjutkan kalimatnya. Lebih tepatnya opininya untuk Sivia.

" jangan bohongi perasaan kamu sendiri vi. Kalau kamu gak mau dia pergi lagi."

Keduanya berpelukan lagi. Sivia mencoba membuka pemikirannya. Mungkin benar, Ify tidak akan sejahat itu padanya. Ify akan bahagia kalau orang yang dia sayangi bersatu.

" terima kasih ya Shill".

Shilla tersenyum lebar. Lalu, kembali melanjutkan catatannya.

**************
Siangnya sepulang sekolah, Via menemui gabriel yang telah menunggunya di taman sekolah. Laki-laki itu tersenyum menyambutnya yang masih melangkah mendekatinya.

" kamu dateng juga, Vi???"

Sivia mengangguk. Ia tersenyum simpul ke arah gabriel. Tiba-tiba, Gabriel memberikan Sivia sebuah boneka Winnie the pooh besar kepada Sivia.

" boneka kesukaan kamu."

Sivia menerimanya. Lalu memeluk boneka itu dan kembali menyunggingkan senyum untuk Gabriel.

" Vi.... Aku mau kamu jadi pacarku."

Sivia mengalihkan pandangannya. Gabriel, menembaknya. Ini yang telah lama dinantikannya.

" Kita akan sama-sama nyekar ke makam ify jika kamu menerima ku dan memintanya untuk merestui kita."

Sivia menganggukkan kepalanya. Sekarang, ia berani menatap wajah Gabriel.

" jadi kamu????"
" iya kak. Aku mau."

Gabriel repleks menarik boneka Sivia dan langsung memeluk gadisnya itu. Keduanya sama-sama tersenyum. Dan air mata Sivia terurai lagi, sebagai air mata kebahagiaan.

Cinta benar-benar tak bisa ditebak apa akhirnya. Bisa saja apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan. Tapi justru sebaliknya. Tapi,,,, jika kita tahu cinta itu sendiri kita bisa menjalaninya. Menjadikan halangan sebagai cobaan untuk memperkukuh jalinan itu. Agar tak mudah tumpang jika tertiup angin kecil.

*************
udah panjang belum??? Masih belum ya??? Tinggalkan jejak ;)

@widarihasnita

second love part 9

************************
Gerimis yang melanda ibu kota pada sore hari, membuat jalanan semakin macet. Diantara kendaraan yang terdiam karena tak mendapat ruang untuk bergerak ada seorang Alvin yang mulai mendengus beberapa kali. Jari-jari tangannya ia hentakkan ke atas stir mobil. Matanya juga liat melirik ke arah jam tangannya. Sudah pukul 16.00. Berarti sudah 20 menit ia terjebak pada keadaan ini. Ahh,, inilah yang tak Alvin inginkan. Menunggu lengganggnya jalanan kota, yang justru membuang waktunya dengan percuma.

Alvin mengambil i-phonenya. Lalu meletakkan jari-jarinya diatas touch screen benda itu. Dan tap, saat ia mendapatkan apa yang ia cari, ia segera menekan tombol dial.

" halo,,,, maaf sayang jalanan macet. Kamu masih disana???" Alvin berbicara dengan orang di seberang telepon sana.

Ya,,,, dia gadisnya Alvin. Tentu saja yang ditelepon itu Shilla. Bibir Alvin mengerut untuk beberapa saat. Ahh,,, gerimis bisakan kamu berhenti sebentar??? Pinta Alvin. Janjinya dengan Shilla untuk bertemu di toko buku langganan Shilla harus mendapat halangan. Dan Alvin benci dengan yang namanya itu.

" Tunggu aku. Aku akan segera kesana. Bye sayang."

Tiittt,,,,,. Alvin mematikan teleponnya. Lalu dengan segera menancapkan mobilnya karena jalanan yang dilaluinya sudah lenggang kembali. Jadilah ia dengan secepat yang ia bisa mengarahkan kendaraannya menuju toko buku yang sudah ada seorang putri cantik. Putri cintanya.

" Maaf,,,,," seru Alvin.

Gadis dihadapan Alvin tersenyum lebar. Dengan buku yang ada ditangannya ia menatap Alvin yang mengerucutkan bibirnya.

" no thing, baby. Tenang aja." sahut gadis itu.
" kau tidak marah, Shilla???" tanya Alvin menatap mata Shilla.

Gadis itu menganggukkan kepalanya masih dengan buku ditangannya.

" Aku sudah hapal dengan kejadian itu. Kita juga pernah mengalaminya kan???? Terjebak macet ditengan gerimis."

Shilla terkikik pelan. Sangat pelan bahkan. Kaki jenjangnya lantas melangkah menyusuri rak buku yang menyediakan berbagai jenis buku yang mungkin salah satunya akan menarik perhatian Shilla.

" Shilla,,,???"
" hum???"

Alvin menutup mulutnya. Tak ada kata-kata apapun yang ia lontarkan. Ia hanya memanggil nama Shilla tadi.

Shilla lantas menanggapinya dengan senyuman lebar. Senyuman yang langsung membuat Alvin gelisah. Senyum itu menghipnotisnya.

" sudahlah Alvin. Aku tidak marah."

Tangan Shilla yang sedari tadi menyusuri deretan buku-buku dihadapannya, terhenti pada buku yang tidak terlalu tebal. Ia pun dengan segera mengambilnya. " A million reason of love". Shilla membaca judul buku itu tanpa suara. Lalu, satu demi satu ia membuka halaman demi halaman benda itu.

Alvin mendekatkan dirinya dengan Shilla. Ia memicing saat membaca kutipan kalimat pada halaman yang dibuka Shilla. " Cinta bukan tanpa alasan. Cinta sebenarnya adalah bagaimana kita mampu menjadi yang terbaik untuk orang yang selalu membuat kita tersenyum. Cinta adalah bagaimana kita mampu menjadi diri kita sendiri didepan orang itu. Tanpa harus menutup apapun yang memang itu asli dari diri kita. Karena cinta akan menerima kekurangan itu menjadi sebuah keunikan."

Shilla membaca deretan kalimat dihadapannya. Dan matanya juga berhenti pada kalimat yang tadi dibaca Alvin dalam hati.

" Cinta,,,,"

Shilla menaikkan pandangannya. Dan saat ia begitu pandangannya bertemu dengan pandangan Alvin yang menyalurkan berbagai reaksi didalam hatinya. Entah efek dari quotes atau pandang yang sedang terjadi diantara mereka, keduanya tersenyum hangat. Dan mata mereka saling berbicara. Andaikan saja mereka tahu bahasa mata. Pasti mereka akan tahu apa yang ingin disampaikan alvin pada Shilla.

" Karena cinta itu sempurna karena hati kita."

Brakk,,,,,, suara benda terjatuh yang cukup kuat, membuat Alvin juga Shilla menghentikan aksi pandang memandang mereka. Yang langsung membuat keduanya salah tingkah. Alvin yang tidak suka buku, malah berpura-pura memilih buku. Sedang Shilla hanya menundukkan kepalanya kedalam bacaan yang dibukanya tadi.

**********************
" ehh,,, sorry. Aku gak sengaja."

Wanita yang tadi menjatuhkan beberapa buku dari atas rak, buru-buru meminta maaf kepada sang penjaga tokoh. Karena ulahnya, penjaga tokoh yang lebih tua darinya 3 tahun itu harus membereskan buku-buku itu.

" maaf kan aku. Aku betul-betul tidak sengaja."
" ya,,, gak apa-apa Mbak." sahut sang penjaga tokoh.
" Mbak,,,,,,,"
" panggil aku Zahra saja." ucap sang penjaga tokoh saat wanita itu terlihat ragu untuk menyerukan namanya.
" maaf ya Mbak."

Penjaga tokoh itu tersenyum bersahabat. Lalu, setelah ia membereskan buku-buku itu, ia segera kembali ke meja kasirnya.

************
" Vin, aku udah dapet bukunya." seru Shilla.
" kita pulang???"
" iya... Udah sore juga kan."

Alvin dan Shilla pun segera menuju meja kasir untuk membayar buku yang dibeli Shilla.

" ini Mbak." Shilla menyerahkan bukunya kepada kasir tokoh.
" semuanya 100 ribu."

Shilla segera mengeluarka uang dari tak tangan yang dibawanya. Namun, tangan Alvin mencegahnya.
" biar aku yang bayar."
" gak usah. Kan ini bukuku. Jadi biar aku aja yang bayar." tolak Shilla halus.
" Biar aku,,,,"
" Alvin,,,, aku aja."

Mendengar nama orang yang memang sungguh tak asing ditelingannya, membuat seorang gadis yang tadi menjatuhkan buku menegakkan tubuhnya. Lantas melangkahkan kakinya untuk mencari orang itu.

" Alvin. Dia disini????" seru gadis itu.

Alvin dan Shilla melangkahkan kakinya keluar tokoh setelah menyelesaikan pembayaran. Dan gadis itu, sempat melihat orang yang memang benar tak asing baginya. Yang ia pikir hanya namanya yang sama. Tapi ternyata, itu adalah Alvin yang ia kenal.

" siapa wanita itu???"

Gadis itu pun melangkah ke arah meja kasir. Bermaksud menanyakan barang kali penjaga kasir itu tahu sesuatu.

" Mbak kenal dua orang yang tadi???" tanya sang gadis.
" ohhh,,, mereka Alvin dan Shilla. Kenapa ya Mbak?"
" Pacaran ya mereka???" tanya gadis itu lagi.

Penjaga kasir mengangkat bahunya. Ia tidak memberi informasi pada gadis itu.

" memangnya kenapa Mbak???"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. Tidak mendapat jawaban apa-apa dari penjaga kasir itu, akhirnya ia memutuskan untuk pergi.

" Itu benar Alvin??? Ahhh,,,, Alvin. Kau hanya untukku. Tidak boleh menjadi milik siapapun. Apalagi Shilla." gadis itu bertekad. Ia menatap mobil Alvin yang sudah menjauh dari jangkauan pandangnya.

" Lihat Alvin. Aku akan kembali lagi ke kehidupanmu. Dan mengusik putri mu itu." Gadis itu tersenyum licik.

Ia memakai kaca mata hitamnya, lalu melangkah memasuki mobil Verari miliknya. Dan dengan cepat ia menancap gas. Meninggalkan toko yang menjadi tempat pertama pertemuannya dengan Alvin dimulai.

************
" Aku langsung pulang ya."
" iya. Hati-hati ya. Titip salam sama Dinda."

Shilla melambaikan tangannya membarengi kepergian mobil hitam Alvin dari depan rumahnya. Dengan sunggingan senyum lebar, ia melangkah memasuki rumahnya.

Shilla menghempaskan tubuhnya. Lalu, segera ia bangkit dari rebahannya saat mengingat buku yang ia beli di toko buku tadi. Buku itu membuat Shilla tertarik, sangat tertarik bahkan untuk membacanya.

Tanpa menunggu, Shilla langsung membuka plastik yang membungkus buku itu. Lalu membaca bagian demi bagian dari halam buku tersebut.

" Bagaimana kita harus menanggapi hambatan cinta sejati. Karena sesunggguhnya, cinta sejati itu akan tetap kembali walau badai membawanya pergi."

Shilla memutar matanya. Tangannya ia ketukan di bawah bibirnya, senada dengan putaran matanya.

Ahhh,,, Shilla mendesah kuat. Buku itu ia tutup dan ia simpan di laci meja riasnya. Tak ingin terlalu berpikir keras tentang apa yang terjadi dengan dia dan Alvin kedepannya, Shilla pun memilih untuk menyiram dirinya dengan air hangat.

Penjamkan mata. Dan saat kau membukanya, kau akan melihat akan ada kenyataan yang terkadang sulit untuk diterima. Shilla, Alvin bahkan Sivia dan gabriel sekalipun tak akan tahu apa yang akan menimpa kisah mereka. Tapi asal percaya, semua dapat dilalui. Benar bukan????

second love-part 8


*********
Kebahagian dan kesedihan walau serapat apapun kita menutupinya pasti akan ketahuan juga. Itu pasti. Karena itu hukum alam.

Sivia menautkan alis tebalnya. Dahinya berkerut. Matanya memicing ke arah seorang gadis yang dilihatnya hanya tersenyum-senyum saja sedari tadi. Membuatnya ngeri sendiri. Perlahan,,,, tangan kanannya bergerak mengelus belakang lehernya. Merinding.

" Heii,,,, kenapa deh??? Kamu nyeremin tahu gak, Shill." akhirnya Sivia berucap. Setelah sempat terdiam sepuluh menit. Hanya memperhatikan kelakuan Shilla.

Nihil. Tak ada respon sama sekali. Yang ditanya malah asyik mengumbar senyum manis yang justru membuat Sivia semakin ngeri.

" Shill,,,, jangan buat aku takut." Sivia mengguncang bahu gadis itu. Yang sontak membuatnya tersadar.
" ahh,,, ehh.... Vi. Ya ampun sakit tau..... Pakek perasaan kek."
" hah??? Ehh.... Kamu kenapa sih??? Nyeremin deh. Senyum-senyum gak jelas. Kesambet ya??"

Lagi, yang di beri pertanyaan menyunggingkan seulas senyum. Matanya menerawang jauh ke mata Sivia. Membuat kedipan jahil disana. Bias-bias bahagia itu jelas bisa ditangkap Sivia. Sivia memperbaiki letak duduknya. Ia menghadapkan wajahnya menatap Shilla yang masih tersenyum penuh arti.
" Shill,,, kamu kenapa sih??"
" entar deh. Kamu juga bakalan tahu."

*******
Suara itu menggema. Menyeruak diseluruh penjuru. Menciptakan senyum lepas dan kebebasan. Ya.... Bel tanda istirahat akhirnya menggema juga. Saat yang dinantikan. Dan tanpa menunggu, koridor sekolah itu sudah dipenuhi dengan murid-murid yang menyibukkan dirinya. Yang rata-rata melangkah ke arah kantin.

Tapi,,,, berbeda dengan Shilla yang hanya terdiam di depan kelasnya. Tangannya ia lipat didepan dada. Matanya liar menerawang ke koridor mencari sesosok manusia yang sedang ditungguinya.

Sivia menguntit. Gadis itu memperhatikan Shilla dari bangkunya. Ia berpura-pura membaca komik yang baru dipinjamnya dari Acha -sepupunya. Yang padahal itu hanya alibinya agar Shilla tak mencurigainya. Kalau ia sedang mencari tahu sesuatu tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

Matanya membulat. Mulut itu juga menganga lebar. Matanya juga tak berkedip beberapa detik. Lalu,,,, tanpa sadar komik itu terhempas ke meja. Sivia mengucek matanya. Masih takjub dengan apa yang ia lihat.

" what??? Alvin? Shilla?" sivia berucap tanpa suara.

Gadis itu segera beranjak dari duduknya. Lalu menghampiri dua manusia yang membuatnya tak percaya. Membuatnya melihat kenyataan yang sulit untuk dicerna akalnya. Mustahil bagi Sivia.

" heh???"

Mereka kaget. Ya,,,, dua manusia itu. Alvin dan Shilla. Suara cempreng sivia menusuk langsung ke indra pendengaran mereka.

" ehehehe....." tawa itu meluncur dari bibir Shilla.
" ahhh,,,, pantas aja. Aku tahu jawabannya Shilla. Ini yang membuatmu tersenyum sedari tadi. Ya kan???"

Shilla menundukkan kepalanya. Malu. Sedangkan satu manusia yang bersamanya - Alvin- hanya tersenyum simpul menatap Sivia.

" wah,,,, aku bakal dapet traktiran dong. Ya kan??? Asyik. Yuk yuk." Sivia menarik tangan Alvin dan Shilla. Anak itu seenak dengkul saja meminta Pajak Jadian mereka. Dan yang patut dipertanyakan, memang ada aturan membayar pajak jadian??? Tidak ada bukan. Ahhh dasar Sivia. Kau mencari kesempatan saja.

" heii,,,, ssss..... Heboh deh." sungut Shilla.

Alvin hanya terkikik. Ia masih menatap dua sahabat yang ada di hadapanya.

" ahh ayolah Shilla." rengek Sivia. " alvin.... Yayayaya,,,,,, mumpung aku lagi limit duit jajan."

Alvin tersenyum dan mengangguk. Yang langsung disambut sivia dengan cengiran kemenanga.

" alvin. Kau baik sekali."

********
Tangan itu saling bertautan. Tawa ceria tersungging indah diantara keduanya. Alvin dan Shilla. Mereka sekarang tengah berjalan menuju area parkir sekolah. Sesekali,,,, alvin dengan isengnya menoel hidung pacarnya jahil. Yang dibalas Shilla dengan mendaratkan cubitan dipinggang laki-laki itu.

" Alvin???"
" humm??"
" Sebenarnya siapa sih Priscilla itu??"

Tanya Shilla spontan membuat Alvin mengeram mobilnya yang melaju dengan kecepatan sedang. Shilla mengernyit takut. Apa iya salah bertanya??? Bukankah ia berhak bertanya seperti itu?? Ia berhak tahu kan hubungan pacarnya denga wanita yang ia tanyakan tadi???

Sesaat Alvin terdiam. Tak bersegera menjawab pertanyaan gadis disampingnya. Helaan napas panjang terhembus paksa dari hidung alvin.

" Alvin. Aku salah bertanya??" ucap Shilla ragu.

Alvin menghadapkan wajahnya menatap Shilla. Tangan kirinya menyentuh pipi putih gadis itu. Sedang tangan kanannya masih asyik bertengger di atas stir mobil.

" gak salah kok. Kamu berhak mengetahuinya."

Shilla tersenyum lega. Lalu tangan mungilnya mengambil tangan kekar Alvin yang masih menempel dipipinya.

" beritahu aku."

Hhaahhh,,,, Alvin menarik napasnya. Mengisi rongga dadanya. Dan setelahnya ia mulai menceritakan semuanya.

" Dia itu orang yang pernah mengisi hari-hariku. Orang yang melukis cinta dan menghias kisah cinta ku."

Shilla mengernyit. Matanya melebar saat Alvin mengatakan kalimat itu.

" Dia orang yang dulunya sangat ku cintai, Shill. Dia pacar juga cinta pertamaku. Kamu tentu tahu foto yang ada di dashboard mobilku? Itu foto saat kami anniv yang ke 2 tahun."

Shilla sempat ingin mengurai air mata atas penjelasan Alvin. Ia sesak mendengar itu. Tapi inikan permintaannya. Jadi ia tak boleh menangis. Ini hanyalah masa lalu Alvin. Iya kan??

" kau tahu Shill??? Disaat aku mencintainya perasaan yang sepenuhnya ku berikan padanya. Dia malah pergi meninggalkanku. Tanpa pesan juga tanpa alasan. Aku kecewa. Dan aku marah Shilla."

Shilla membuang pandangannya sejenak. Satu air mata mengaliri pipinya. Namun dengan segera ia hapus. Agar alvin tak mengetahuinya.
" Dia pergi ke Paris. Gak ada yang tahu kepindahannya. Aku sulit untuk menerima itu. Dan itu lah penyebab kenapa aku sulit menerima wanita lain. Sampai akhirnya aku ketemu kamu."

Shilla mengangguk. Lalu tersenyum kecut.

" apa kamu masih mencintainya???" Shilla meluncurkan pertanyaan. Ia berharap agar jawaban yang diberikan Alvin sesuai dengan keinginannya.

Alvin terdiam. Raut wajahnya langsung berubah. Memperlihatkan ekspresi yang sulit terbaca. Bahkan Shilla sendiri tak tahu apakah Alvin masih mencintai wanita itu???
Alvin menganggkat bahunya. Ia menggenggam erat tangan Shilla. Mencoba memberi rasa nyaman kepada gadis itu.
" dengarlah Shilla. Sekarang aku sudah memilikimu. Dan kamu sudah tahu siapa wanita itu. Sekarang aku hanya memberi rasa ini untukmu saja. Bukan orang lain."

Kata-kata itu cukup menghibur Shilla. Walau sebenarnya ia masih sakit mengetahui pengakuan Alvin. Tapi sekarang Alvin itu miliknya. Jadi siapapun itu tak berhak mengambil Alvin darinya. Apalagi Priscilla, karena wanita itu hanyalah masa lalu Alvin saja.

" Iya, Alvin. Aku mengerti sekarang."

Dan,,,,,,
Cupp,,,, Alvin mendaratkan kecupan itu dikening Shilla. Mesra dan indah. Shilla hanya bisa menutup matanya dan menikmati alunan melodi yang mengalir di hati dan perasannya. Ahhh,,,, melodi itu membuatnya terbuai. Akankah itu akan terus seperti ini???

" ketahuilah Shilla. Aku sekarang hanya untukmu."

Kenyataan itu memang sulit untuk diterima. Masa lalu itu memang akan selalu jadi kisah tersendiri untuk seseorang. Juga untuk Shilla dan Alvin. Bagaimana Shilla mengetahui kalau sebelumnya hati laki-laki yang bersamanya sudah dimiliki orang lain. Dan bagaimana juga ia mengetahu kalau ternyata laki-laki itu sekarang hanya mencintainya. Kisah kelam yang sebenarnya juga pernah menjadi kisah masa lalunya. Suatu saat ia berjanji akan memberi tahukannya pada Alvin. Tapi tidak untuk sekarang.

" terima kasih."

Alvin tersenyum. Lalu ia kembali melajukan mobilnya. Dengan genggaman tangannya yang belum juga ia lepaskan dari Shilla. Ia ingin benar-benar menunjukkan bahwa betapa sekarang ia dan Shilla. Bukan ia dengan priscilla. Walau rasa itu masih tertinggal, Alvin sebisa mungkin menguburnya. Ia tak ingin mengulang masa lalu karena itu justru akan membuat masa depannya hancur tanpa bekas.

Template by:

Free Blog Templates