Kamis, 25 Oktober 2018

STAY

Me
Aku duduk di bawah pohon depan kelas siang ini. Dosen mata kuliah Multikulturalisme yang harusnya masuk, memberi kabar lewat seorang temanku bahwa ia tidak bisa mengajar. Jadinya, aku memilih untuk duduk di tempat ini. Siang ini hari lumayan terik. Dan duduk di bawah pohon rindang adalah pilihan terbaik menurutku.
"Hei,"  senggolan pada bahuku membuatku serta merta mendongakkan kepala. Aku lantas mengulum senyum.
Ima sudah duduk mengambil posisi kosong disebelah kiriku. Omong-omong, kami satu kelas. Dan dia adalah satu-satunya teman terdekatku di kampus ini.
"Selesai ngampus nongkrong dicafe biasa, yuk," ajaknya.
Aku mengangguk menyanggupi. Tentu saja aku mau. Sudah rindu espresso di cafe itu.
Oh ya, omong-omong, Ima mengenalkanmu pada espresso yang sebelum kuliah ini tidak pernah ku cicipi. Bukan karena alasan apapun. Soalnya saat masih SMA dulu, anggapanku soal espresso itu adalah minuman pahit dan tidak enak sama sekali.
Tapi nyatanya, oponiku salah ketika Ima untuk pertama kalinya mengenalkan lidahku pada rasa yang benar-benar membuat lidahku nagih, pada hari ketujuh aku menjadi mahasiswa baru.
"Ok," Ima mengacungkan jempolnya. Lalu ia berdiri dan mengahadapkan tubuhnya padaku sebentar.
"Lo tunggu sini. Gue mau ke toilet bentar." Pamitnya.
Aku yang gantian mengacungkan jempol padanya. Berlalulah Ima lantas menghilang di koridor kampus, berbaur dengan mahasiswa lain yang masih berkeliaran di koridor.
Aku masih membuka halaman novel yang sebenarnya sudah ku baca berulang-ulang. Namun sama sekali tidak merasa bosan meski terus mengulangi bacaan yang sama. Fairish milik Esti kinasih membuatku jadi mengenang masa SMA ku yang sudah 2 tahun berlalu. Apalagi sosok Davi. Sosok itu mengingatkanku tentang seseorang di masa SMA ku yang membuatku sering merindu.
Suara biip dari dalam tas membuatku merogohkan tangan ke dalamnya demi mengambil benda persegi berwarna putih yang tadi berbunyi.
Aku kembali menyunggingkan senyum. Aku baru saja membatin tadi. Dan yang baru saja ku sebut namanya dalam hati, namanya pun muncul di pop up pesanku.
Fero
Selamat siang masa depanku. Udah selesai kuliahnya??
Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajah gembira tiap kali pesan darinya masuk ke folder pesanku. Dia tahu cara membuatku tersenyum meski hanya lewat pesan sekalipun.
Sebenernya belum. Tapi dosen lagi gak masuk.
Aku mengirim balasan segera. Gak lama, balasan dari Fero kembali masuk.
Terus abis ngampus mau kemana?? Aku jemput yaaa...
Aku baru akan mengatakan iya. Tapi tiba-tiba teringat pesan Ima tadi.
Gak usah. Lagian udah ada janji sama temen.
Pesan balasan dari Fero masuk lagi.
Cowok??? Ihh jangan buat aku cemburu!!!
Aku mengernyit sambil mengulum senyum, lagi.
Nanti aki kirim deh fotonya. Biar kamu makin cemburu.
Aku terkikik tanpa suara. Aku suka menggodanya. Karena dia pasti akan langsung mengomel dan pasang emot cemberut.
Kalau kamu kayak gitu, aku bakalan muncul tiba-tiba disana. Di depan cowok itu kamu aku tarik terus aku peluk. Lalu bakalan aku bilang, 'jangan berani deket-deket. Rest area.'
Pecahlah sudah tawaku yang sedari tadi ku tahan. Capek menarikan jempolku pada keypad handphone, aku memilih melakukan panggilan saja.
"Kok rest area sih??" Omelku tidak terima ketika sambungan teleponku sudah di terima.
"Iya. Soalnya kamu memang berbahaya. Mudah memancing,"
"Memancing apaan?? Emang kamu pikir aku tukang pancing apa," jawabku pura-pura sewot.
"Kamu bahkan lebih dari itu. Kamu bisa mancing orang buat jatuh cinta sama kamu. Itu bahaya,"
"Iisshh..."
"Hahaha..." diujung sambungan telepon sana, dia terbahak. Dan aku menggerutu sebal disini.
"Jangan cemberut. Entar aku cium." Goda Fero lagi.
"Ihhh..." aku menggerutu.
Dan  sialnya, itu malah membuatku semakin di goda Fero habis-habisan.
****
"Tumben jam segini udah nongol aja??"
Aku dan Ima sudah duduk manis di salah satu tempat duduk di cafe yang tadi ku ceritakan. Ini salah satu kursi favorit. Letaknya di sudut ruangan tepat disamping jendela besar yang menghadap langsung ke arah jalan.
"Dosennya gak masuk," Ima menjawab sebelum menyesap sanger yang tadi di pesannya.
Aku sendiri masih membiarkan espresso ku di atas meja.
"Lo ada acara ntar malam, Nad??"
Aku menggeleng.
"Kenapa lo nanya gitu ke Nada, Yo? Lo mau ngajak Nada ngedate??" Sahut Ima bahkan sebelum aku mengatakan apa-apa.
"Lo apaan sih, Ma." Seruku.
Dhio malah tertawa menanggapi ucapan Ima tadi.
Omong-omong, Dhio salah satu pekerja paling ramah dicafe yang sekaligus paling dekat dengan kami. Ima dan aku -maksudku-.
Dhio cukup asik untuk dijadikan teman ngobrol. Dengar-dengar juga, cewek-cewek dikampus banyak yang suka nongkrong disini hanya untuk menikmati wajah Dhio. Ku jelaskan, Dhio memang memiliki paras wajah diatas rata-rata. Ia lebih cocok jadi bintang iklan ketimbang barista, menurutku. Badan Dhio tinggi dan berisi. Rambutnya ikal dan agak kemerahan. Kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Belum lagi alisnya yang tebal dan rapi. Bahkan aku suka memuji kerapian alis Dhio. Yang menurutku lebih pas untuk seorang perempuan.
"Kalau Nada mau," sambung Dhio kemudian.
Tapi kemudian aku tahu, bahwa itu hanya basa-basi semata. Lagipula, Dhio cukup sibuk dicafe ini. Mengingat pemilik cafe ini adalah tantenya sendiri. Jadi, sedikit banyaknya Dhio diberi tanggung jawab untuk mengawasi semua karyawannya.
"Gimana sama Hana??" Aku memulai percakapan.
"Hana??" Dhio tampak bingung dengan pertanyaannku.
"Ah, iya. Lo kok gak cerita sama kami??" Ima tiba-tiba menyahut. Ia bahkan sudah mencondongkn tubuhnya ke arah Dhio.
"Cerita apa??" Ucap Dhio bingung.
"Soal lo sama Hana, lah. Soal apa apalagi coba kalau enggak soal itu,"
"Hana cantik, lagian. Gak malu-maluin lah kalau lo bawa jalan-jalan." Ucapku menambah ucapan Ima, setelah meneguk espreso pesananku.
"Kok lo berdua jadi kayak pemandu gosip sih?? Gue gak sama Hana lagi pula."
"Masa?? Di kampus udah geger tau. Soal lo sama Hana keluar dari mobil berdua." Tambah Ima lagi.
Dhio menggeleng sambil berdecak.
"Astaga!!" Ucap Dhio. "Gue cuma nolongin dia waktu itu. Dia minta tolong nyetirin mobil dia. Dia lagi ngantuk katanya. Ya udah daripada anak orang kecelakaan gara-gara ngantuk, ya gue tolongin." Jelas Dhio.
"Sok jiwa super hero lo," sungut Ima.
Sementara aku tidak menyahut lagi karena sibuk membalas chat dari grup  SMA.
"Eh, sekali-kali kalian tuh nongkrong disini ngajak pacar kek atau gebetan. Sekalian gue mau nilai pasangan kalian berdua," ucap Dhio. Sepertinya sih mengalihkan pembicaraan.
Aku jadi mendongak. "Entar lo kalah saing kalau gue bawa pacar gue kesini," ledekku
"Kenapa gitu??"
"Abis kegantengan lo bakalan turun 70 persen," aku tergelak. Ima pun juga. Sedangkan Dhio pura-pura memasang wajah kesal tapi kemudian ikut tertawa juga.
[][][][]
buat yang mau baca part selanjutnya, bisa di check link berikut.
thank you


Template by:

Free Blog Templates