Selasa, 29 Oktober 2013

Ashilla [cerpen mini]



Ashilla
Oleh: @WidariHasnita (no plagiat ok ^_^)

            Tiitt,,, tiitt,, tiitt,,,, bunyi mesin pendeteksi jantung yang ada di ruang ICU itu memekakan telinga semua orang yang ada disana. Membuat suasana mengharukan yang begitu kalut. Derai air mata tertumpah seiring mereka melihat tubuh Shilla yang terbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang hanya berukuran 3 kaki.
            ray, saudara kembar gadis 18 tahun itu hanya bisa menatap nanar adik kembarnya yang tersenyum dalam ketidakberdayaan. Sedangkan Sivia, kakak sepupunya menangis sejadi-jadinya dalam pelukan suaminya, Gabriel.
“ Bangun adikku, bangun!” suara Ray terdengar serak dan bergetar. Laki-laki itu telah menahan kesesakan dalam dadanya. Yang akhirnya menyebabkan air mata dari pelupuk matanya tertumpah juga.
“ Shilla, kau dengar kami? Bangunlah sayang.” Seru sivia masih dalam pelukan suaminya.
            Tiitt,,,,tiitt,,,,ttiitt,,,, bunyi denyutan jantung Shilla masih menunjukkan keadaan yang sama. Tak berubah sama sekali. Tangis haru pun memenuhi ruangan itu.
“ Shilla, bangun adikku.”
            Selang beberapa saat Ray  mengeluarkan suaranya, jemari Shilla menunjukkan perubahan yang berarti. Perlahan jari itu bergerak. Dan mata gadis yang telah tertidur dalam ketidakberdayaan selama 2 minggu itu akhirnya terbuka juga.
“ Shilla,,,!”
            Tanpa menunggu lagi, sivia langsung menghamburkan dirinya kepelukan Shilla. Menumpahkan semua air mata kekhawatiran yang mengiringi ketidakberdayaan gadis itu.
            “ Heii,,,. Kalian semua mengapa menangis?” Shillaa bersuara lemah. Suaranya juga tak terdengar karena mulutnya masih terbungkus alat bantu pernapasan.
“ kakak, sudah berapa lama aku diruangan ini? Sudah berapa lama pula kalian menungguku?”
“ Tepatnya dua minggu sayang. Tapi tak apa.  Kami tak merasa terbebani jika harus menunggumu.”
            Shilla memetakan senyum tulus pada bibir mungilnya yang pucat pasi. Gadis cantik itu tak memiliki keberdayaan dalam takhlukan penyakit ganas yang telah melekat pada dirinya selama umurnya itu. Kanker darah yang harus diderita darah cantik itu membuatnya harus terkulai lemah.
“ Kakak, aku mau pulang.” pinta Shilla lemah.
“ Tapi kau masih harus dirawat.”
            Shilla menggelengkan kepalanya pelan. Itu wujud penolakannya atas perkataan sivia.
“ Aku sudah sembuh kak. Tolonglah, bawa aku pulang. Masih banyak hal yang ingin aku kerjakan. Tolonglah,,,!!!!”
            Suara lemah itu menohok sampai ke ulu hati Ray. Ia begitu kasihan melihat penderitaan pada adiknya itu.
“ Ray,,,”
“ Iya. Aku akan membawa Shilla pulang kak.” Suara Ray menegaskan ulang tentang kepastian jawaban atas permintaan adiknya itu.
“ Terima kasih” bibir Shilla membentuk kalimat itu, tanpa suara yang terdengar.
            Sore harinya, sagita telah benar-benar dibawa pulang ke rumah. Gadis itu tidak terlihat sakit saat ia melakukan kegiatan yang ia senangi. Malah ia terlihat seperti gadis yang begitu sehat.
“ Mau kemana?”
            Shilla menolehkan kearah sumber suara yang ia tahu itu tertuju kepadanya.  Lalu ia tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Sebelumnya Shilla menunjuk kearah luar rumahnya. Diikuti oleh tatapan mata Ray yang tajam.
“ Tidak,,!”
“ Ayolah kak. Izinkan aku. Please!” suara Shilla memohon.
            Tatapannya memelas dengan tangannya yang terus menggoncangkan lengan Ray.
“ Shilla kau masih,,,,,,,,,,,”
“ kak, aku sudah sembuh. Please!”
            Ray menghela napas pasrah. Dan pada akhirnya ia memberikan izin pada adiknya untuk menemani anak-anak kecil yang rutin bermain dihalaman rumahnya.
“ Kak shilla.” Seruan bocah mungil 5 tahun membuat Shilla menyunggingkan senyum lebar diantara sudut-sudut bibirnya.
“ Haii,,, kakak kangen deh sama kalian.”
“ Kami juga. Kakak kemana aja sih?” seru bocah laki-laki sambil berkacak pinngang dihadapan Shilla.
            Shilla hanya mengacak pucuk kepala bocah-bocah itu satu per satu. Sembari menyunggingkan seulas senyum. Diantara bocah-bocah itu, ada satu orang yang juga sama dengannya. Gadis itu juga menderita kanker sepertinya. Tapi nasib bocah itu lebih kasian dari pada dirinya. Karena diusia yang masih 6 tahun gadis itu harus kehilangan rambut indahnya karena pengaruh terapi yang dijalaninya.
            “ kak. Sebenarnya Tuhan itu adil gak sih? Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?” seru bocah pengidap kanker otak itu kepada Shilla. Sekarang mereka hanya tinggal berdua saja. Bocah-bocah sehat yang lainnya telah pulang kerumah mereka masing-masing.
“ Tuhan itu adil, Sayang. Kau tahu kan? Kakak juga pengidap kanker sepertimu. Tapi kakak gak pernah marah sama Tuhan. Karena kakak tahu Tuhan punya rencana indah dibalik semua ini.” Shilla menoel hidung bangir bocah itu lalu melanjutkan kata-katanya.
“ Walaupun kita tidak seperti orang kebanyakan tapi kita tidak boleh terpuruk, Sayang. Kita masih bias menolong orang lain dengan kekurangan kita ini. Kau tahu bintang? Bintang itu jumlahnya sangat banyak. Ada berjuta-juta bintang diatas langit sana. Dan diantara berjuta bintang itu aka nada bintang yang paling terang. Ya, walaupun dia bintang yang bpaling cepat mati, tapi dia telah memberikan cahaya keindahan untuk makhluk yang melihatnya.”
            Bocah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah mengapa satu tetes air mengalir dari matanya.
“ Kita semua pasti mati, Sayang. Tapi mungkin kita yang lebih dulu mati dari yang lain”
            Bocah itu tersenyum manis. Sagita sendiri menahan tangisnya karena ia tidak ingin menangis dihadapan bocah yang telah diberikan semangt hidup olehnya. Setelah bocah itu pulang, ia masuk kedalam rumahnya.
            Bruukk,, Shillaa terjatuh. Lalu ia bangkit. Ia kembali meneruskan langkahnya. Gadis itu berjalan sempoyongan. Wajah indah yang tadi tampak segar, sekarang berubah menjadi sangat pucat.
“ Ahhh,,,,,,,,,!!!”
            Teriakan Shilla membuat orang-orang yang ada dirumahnya segera berhamburan menemuinya. Setelah mendapati tubuh Shilla yang tergolek lemah diatas tanah dengan mata terpejam, dengan cepatnya Ray menghampiri dan mengangkat tubuh adiknya itu.
“ Kak,,,,,,,” Shilla sadar dalam bopongan kakaknya.
            Ray meletakkan tubuh gadis itu diatas kasur kamarnya.
“ jangan bawa aku kerumah sakit lagi. Aku sudah bosan kak. Biarlah aku disini sampai akhir napasku.”
“ Gak. Kamu gak boleh gitu.”
            Shilla menggeleng lemah.
“ Aku bahagia punya keluarga ini. Kak, aku mohon. Selepas keabadian menyusulku, berikan mata ini kepada Acha. Bocah kecil di ujung gang sana. Aku mohon. Aku ingin anggota tubuhku ini berguna untuk orang lain.”
            Ray menggelengkan kepalanya kuat. Kata-kata adiknya menohoknya terlalu dalam. Belum sempat ia mengucap kata, gadis itu telah tertidur dalam keabadian.
“ Ya Allah, Shilla. Bangun.”
            Tubuh gadis itu terus digoncangkan. Namun tak juga nampak bergerak. Isakan tangis pun pecah diantara mereka. Dengan keyakinan dan rasa sayang kepada adiknya itu, Ray bertekad dengan pasti.
  “ Kakak akan mewujudkan keinginanmu itu, Sayang. Kakak janji!”

                                    _ Selesai_









Template by:

Free Blog Templates